TEORI KONFLIK MENURUT
KARL MARX (1818-1883)
Teori konflik Karl Marx didasarkan pada
pemilikan sarana- sarana produksi sebagai unsur pokok pemisahan kelas dalam
masyarakat.
Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang
masyarakat kelas dan perjuangannya. Marx tidak mendefinisikan kelas secara
panjang lebar tetapi ia menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada abad ke- 19 di
Eropa di mana dia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas
pekerja miskin sebagai kelas proletar. Kedua kelas ini berada dalam suatu
struktur sosial hirarkis, kaum borjuis melakukan eksploitasi terhadap kaum
proletar dalam proses produksi.. Eksploitasi ini akan terus berjalan selama
kesadaran semu eksis (false consiousness) dalam diri proletar, yaitu berupa
rasa menyerah diri, menerima keadaan apa adanya tetap terjaga.
Ketegangan hubungan antara kaum proletar dan kaum
borjuis mendorong terbentuknya gerakan sosial besar, yaitu revolusi. Ketegangan
tersebut terjadi jika kaum proletar telah sadar akan eksploitasi kaum borjuis
terhadap mereka.
#Teori
konflik Karl Marx didasarkan pada pemilikan sarana- sarana produksi
sebagai unsur pokok pemisahan kelas dalam masyarakat. Kelompok yang memiliki
sarana produksi (borjuis) dan kelompok pekerja miskin (proletar) Karl Marx
berpendapat bahwa pemilikan dan Kontrol sarana- sarana berada dalam satu
individu- individu yang sama.
TEORI KONFLIK LEWIS A.COSER
Teori konflik adalah teori yang memandang
bahwa perubahan sosial tidak terjadi melalui proses penyesuaian nilai-nilai
yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik yang menghasilkan
kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula.
Teori ini didasarkan pada pemilikan
sarana-sarana produksi sebagai unsur pokok pemisahan kelas dalam masyarakat.
Konflik juga memiliki kaitan yang erat dengan struktur dan juga konsensus.
Selama dua puluh tahun Lewis. A. Coser tetap
terikat pada model sosiologi dengan tekanan pada struktrul sosial. Pada saat
yang sama dia menunjukkan bahwa model tersebut selalu mengabaikan studi tentang
konflik sosial. Coser mengungkapkan komitmennya pada kemungkinan menyatukan
pendekatan teori fungsional struktural dan teori konflik. Coser mengakui
beberapa susunan struktural merupakan hasil persetujuan dan konsensus, suatu
proses yang ditonjolkan oleh kaum fungsional struktural, tetapi dia juga
menunjukkan pada proses lain yaitu konflik sosial.
Teori konflik yang dikemukakan oleh Lewis
Coser sering kali disebut teori fungsionalisme konflik karena ia menekankan
fungsi konflik bagi sistem sosial atau masyarakat. Lewis Coser memusatkan
perhatiannya pada fungsi-fungsi dari konflik. Bahwa uraian Coser terhadap
konflik bersifat fungsional dan terarah kepada pengintegrasian teori konflik
dan teori fungsionalisme struktural. Tetapi sebetulnya kalau ia mau konsekuen
dengan usahanya itu maka ia juga harus menguraikan akibat-akibat dari
keteraturan (order) terhadap konflik atau ketidakseimbangan. Misalnya,
penekanan yang terlalu banyak terhadap peraturan biasa menimbulkan
ketidakstabilan. Pemerintahan yang totaliter misalnya, sekalipun menekankan
aturan yang ketat bisa menimbulkan ketidakstabilan didalam masyarakat.
GAGASAN-GAGASAN COUSER
Pada sisi lain dalam pemikiran teori konflik,
Coser melihat konflik sebagai mekanisme perubahan sosial dan penyesuaian, dapat
memberi peran positif, atau fungsi positif, dalam masyarakat. Pandangan teori
Coser pada dasarnya usaha menjembatani teori fungsional dan teori konflik, hal
itu terlihat dari fokus perhatiannya terhadap fungsi integratif konflik dalam
sistem sosial. Coser sepakat pada fungsi konflik sosial dalam sistem sosial,
lebih khususnya dalam hubungannya pada kelembagaan yang kaku, perkembangan
teknis, dan produktivitas, dan kemudian konsen pada hubungan antara konflik dan
perubahan sosial.
Pokok teori konflik yang
disampaikan oleh Couser antara lain adalah:
1. Mengenai
fungsi-fungsi konflik sosial
2. Katup
Penyelamat (Savety Valve)
3. Konflik
Realistis & Non-Realistis
4. Permusuhan
Dalam Hubungan Sosial-Sosial yang Intim
5. Isu
Fungsionalitas konflik
6. Kondisi
Konflik antara Kelompok Dalam (In-Group) dengan Kelompok Luar (Out Group)
1. FUNGSI-FUNGSI KONFLIK SOSIAL
Konflik
pada dasarnya merupakan suatu pertentangan/pertikaian sosial .Tetapi konflik
dapat juga merupakan suatu proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan,
penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial.Konflik dapat menetapkan batas
antara dua atau lebih kelompok.
Fungsi
positif dari konflik dapat dilihat dalam gambaran bilamana suatu kelompok itu
mengalami konflik dengan out-group.
Konflik
yang sedang berlangsung dengan out-group dapat memperkuat identitas dari
anggota kelompok tersebut. Salah satu hal yang membedakan Coser dari pendukung
teori konflik lainnya ialah bahwa ia menekankan pentingnya konflik untuk
mempertahankan keutuhan kelompok. Padahal pendukung teori konflik lainnya
memusatkan analisa mereka pada konflik sebagai penyebab perubahan sosial. Dan
juga couser menyebutkan beberapa fungsi dari konflik yang antara lain adalah :
a. Konflik
dapat memperkuat solidaritas suatu kelompok yang agak longgar. Dalam masyarakat
yang terancam perpecahan, konflik dengan masyarakat lain bisa menjadi kekuatan
yang mempersatukan. Dalam hal ini, ia sebetulnya mengembangkan apa yang sudah
dikatakan oleh Goerge Simmel sebelumnya. Misalnya pada masa sekarang, atas
perasaan jengkel terhadap Negara Malaysia rakyat Indonesia menjadi lebih
bersatu atas kepentingan yang sama dengan melakukan suatu pemberontakan atau
penolakan segala hal yang berkaitan dengan Malaysia seperti “pemboikotan SPBU
PETRONAS yang beroprasi di Indonesia”.
b. Konflik
dengan kelompok lain dapat menghasilkan solidaritas didalam kelompok tersebut
dan solidaritas itu bisa menghantarnya kepada aliansi-aliansi dengan
kelompok-kelompok lain. Konflik yang berkepanjangan antara Israel dan negara-negara
Arab telah menyebabkan Israel menjalin kerjasama yang solid dengan Amerika
Serikat serta sekutu-sekutunya. Bila mana perdamaian jangka panjang antara
negara-negara Arab dengan Israel terjadi, maka ikatan antara Israel dan
Amerika menjadi kendur.
c. Konflik
juga bisa menyebabkan anggota-anggota masyarakat yang terisolir menjadi
berperan secara aktif. Misalnya, karena kinerja himasos yang kurang baik maka
bukan tidak mungkin,mahasiswa minoritas sosiologi yang tidak bergabung di dalam
himasos diberikan kepercayaan untuk melakukan tugas-tugas yang seharusnya
ditangani oleh himasos,serta bisa juga mahasiswa yang diremehkan dan dikucilkan
mejadi seorang hero di fakultas sosiologi.”Dalam hal ini himasos berperan
sebagai pihak mayoritas”.
d. Konflik
juga bisa berfungsi untuk berkomunikasi. Misalnya saja, beberapa ormas yang
tidak puas terhadap kinerja pemerintah, maka akan berkompromi serta bertukar
pendapat tentang tindakan apa yang akan dilakukan selanjutnya, apakah akan
menbantu kinerja pemerintah atau mungkin menentang keras apa yang dilakukan
oleh pemerintah selama ini. ”Dalam hal ini konflik terjadi antara pemerintah
dengan ormas yang ada”.
2. KATUP PENYELAMAT
Katup
penyelamat/savety valve ialah salah satu mekanisme khusus yag dapat dipakai
untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial .Katup penyelamat
mengatur bilamana terjadi suatu konflik tidak merusak semua struktur yang
ada,katup penyelamat membantu memperbaiki keadaan suatu kelompok yang mengalami
konflik.
Dengan
demikian praktek atau institusi katup penyelamat memungkinkan pengungkapan rasa
tidak puas terhadap struktur. DPR atau DPRD, dapat berfungsi sebagai katup
penyelamat,karena merupakan tempat untuk menyalurkan suara/aspirasi rakyat
“tetapi menurut saya sekarang realitanya sangat mengenaskan, bahwa para anggota
DPR sekarang ini seakan tidak memperdulikan rakyatnya tetapi hanya peduli pada
dirinya sendiri”.
Menurut
Coser, lewat katup penyelamat (safety-value) itu permusuhan dihambat agar tidak
berpaling melawan obyek aslinya. Tetapi penggantian yang demikian mencakup juga
biaya bagi sistem sosial maupun bagi indiviidu: mengurangi tekanan untuk
menyempurnakan sistem untuk memenuhi kondisi-kondisi yang sedang berubah maupun
membendung ketegangan dalam diri individu, menciptakan kemungkinan tumbuhnya
ledakan-ledakan destruktif.
3. KONFLIK REALISTIS & NON-REALISTIS
Dalam
membahas berbagai situasi Couser memberi perbedaan konflik menjadi 2 antara
lain adalah konflik realistis & non-realistis .
Konflik
yang realistis berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan-tuntutan khusus yang
yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan
para partisipan,dan ditujukan kepada pihak yang dianggap mengecewakan.
Contohnya adalah para mahasiswa yang mengadakan demo kepada pihak rektorat
karena merasa tidak puas terhadap sistem pembelajaran yang selama ini telah
dilaksanakan, dimana pihak rektorat memegang kekuasaan penuh atas semua sistem
pembelajaran yang ada di dalam universitas.
Konflik
sosial yang tidak realistis adalah konflik yang bukan berasal dari tujuan
saingan-saingan yang antagonis, tetapi berasal dari hubungan untuk meredakan
ketegangan, minimal meredakan dari salah satu pihak. contohnya adalah pada saat
pemilu ,bilamana salah satu calon merasa akan kalah dengan pesaingnya di
pemilihan nanti mungkin ia akan melakukan cara yang ilegal/melakukan
kecurangan pada saat pemilu yang sangat merugikan pada pihak lawan, mungkin
saja dengan cara yang kejam yaitu dengan membunuh pesaingnya dengan membayar
melalui pembunuh bayaran atau yang lainya.
Dengan
demikian dalam satu situasi bisa terdapat elemen-elemen konflik realistis dan
non realistis. Konflik realistis khususnya dapat diikuti oleh sentimen-sentimen
yang secara emosional mengalami distorsi oleh karena pengungkapan ketegangan
tidak mungkin terjadi dalam situasi konflik yang lain. Pemogokan melawan
majikan, misalnya dapat berupa sifat-sifat permusuhan tak hanya sebagai akibat
dari ketegangan hubungan antara rakyat dan penguasa, akan tetapi boleh jadi
juga oleh karena ketidakmampuan menghilangkan rasa permusuhan terhadap
figur-figur yang berkuasa. Dengan demikian energi-energi agresif mungkin
terkumpul dalam proses-proses interaksi lain sebelum ketegangan dalam situasi
konflik diredakan.
4. PERMUSUHAN DARI HUBUNGAN-HUBUNGAN SOSIAL YANG
INTIM
Menurut
Coser terdapat kemungkinan seseorang terlibat dalam konflik realistis tanpa
sikap permusuhan atau agresif.contohnya simpel seperti yang selama ini
kita rasakan yaitu bilamana para mahasiswa yang mengerjakan soal-soal kuis,
mereka berlomba untuk mendapatkan nilai-nilai yang terbaik dan itu merupakan
sebuah persaingan, tetapi di balik itu semua mereka adalah teman seperkulihan
yang saling membantu satu dengan lainnya.
Coser
menyatakan, semakin dekat suatu hubungan semakin besar rasa kasih sayang yang
sudah tertanam, sehingga semakin besar juga kecenderungan untuk menekan
ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan. Sedang pada hubungan-hubungan
sekunder, seperti misalnya dengan rekan bisnis, rasa permusuhan dapat relatif
bebas diungkapkan. Ha ini tidak selalu bisa terjadi dalam hubungan-hubungan
primer dimana keterlibatan total para partisipan membuat pengugkapan perasaan
yang demikian merupakan bahaya bagi hubungan tersebut.
Yang
bersifat paradoks ialah, semakin dekat hubungan semakin sulit rasa permusuhan
itu diungkapkan. Tetapi semakin lama perasaan demikian ditekan, maka semakin
penting pengungkapannya demi mempertahankan hubungan itu sendiri. Karena dalam
suatu hubungan yang intim keseluruhan kepribadian sangat boleh jadi terlibat, maka
konflik itu, ketika benar-benar meledak, mungkin sekali akan sangat keras.
Contohnya, konflik antara suami dan istri
Walau
berat bagaimanapun masalahnya ketika konflik meledak dalam hubungan-hubungan
yang intim itu, Coser menegaskan bahwa tidak adanya konflik tidak bisa dianggap
sebagai petunjuk kekuatan dan stabilitas dari hubungan yang demikian. Konflik
yang diungkapkan dapat merupakan tanda-tanda dari hubungan-hubungan yang hidup,
sedang tidak adanya konflik itu dapat berarti penekanan masalah-masalah yang
menandakan kelak akan ada suasana yang benar-benar kacau.
5. ISU FUNGSIONALITAS KONFLIK
Konflik
dapat secara positif fungsional sejauh ia memperkuat kelompok dan secara
negatif fungsional sejauh ia bergerak melawan struktur. Coser mengutip hasil
pengamatan Simmel yang menunjukkan bahwa konflik mungkin positif sebab dapat
meredakan ketegangan yang terjadi dalam suatu kelompok dengan memantapkan
keutuhan dan keseimbangan. Peningkatan konflik dalam kelompok dapat dihubungkan
dengan peningkatan interaksi dengan dan ke dalam masyarakat secara keseluruhan.
Couser
juga menyatakan bahwa yang menentukan suatu konflik fungsional apa tidak adalah
tipe isu yang merupakan subyek konflik itu. Konflik fungsional positif
bilamana tidak mempertanyakan dasar-dasar hubungan dan fungsional negatif
jika menyerang suatu nilai inti.Seperti bila seorang orang tua memberi uang
saku kepada anaknya untuk biaya kuliah, tetapi si anak ingin menggunakan uang
tersebut untuk biaya modifikasi motor, maka konfliknya adalah tentang uang saku
itu apakah digunakan untuk biaya kuliah / buged untuk modifikasi motor tetapi
itu semua menyangut tujuan utama dari uang tersebut akan digunakan.
Couser
juga menambahkan bahwa masyarakat yang berstruktur longgar ,terbuka dan
demokratis membangun perlindungan suatu nilai inti dengan cara dengan
membiarkan konflik itu berkembang di sekitar masalah-masalah yang tidak
mendasar. Amerika sebagai contohnya dari masyarakat berstruktur longgar dan
terbuka dimana pada negara tersebut terdapat suatu konflik mengenai berbagai
masalah, mulai dari abortus ,nuklir dan masalah perpajakan. Oleh karena
masalah-masalah tersebut tidak menyangkut nilai-nilai inti ,maka konflik yang
seperti ini tak membahayakan struktur sosial. Ini malah dapat meningkatkan
solidarotas struktural di mana berbagai kelompok bisa memiliki pandangan yang
berbeda tetapi dengan masalah yang berbeda pula.
6. KONDISI KONFLIK ANTARA KELOMPOK DALAM (IN-GROUP)
DENGAN KELOMPOK LUAR (OUT GROUP) Sebagaimana yang telah
kita ketahui bahwa konflik dengan kelompok luar akan membantu pemantapan
batas-batas struktural. Sebaliknya bahwa konflik dengan kelompok luar juga akan
mempertinggi integrasi di dalam kelompok. Couser juga menyatakan bahwa
:bilamana konsensus dasar suatu kelompok lemah, maka ancaman dari luar menjurus
bukan pada peningkatan kohesi tetapi pada apati umum, dan mengakibatka suatu
kelompok itu teracam pada perpecahan. Misalnya bilamana suatu kelompok yang
sudah solid sejak awal berdirinya maka bila ada konflik di dalamnya akan tidak
menimbulkan satu masalah apapun.
KRITIK-TERHADAP
STRUKTURALISME KONFLIK
Couser lebih menganggap bahwa teori konflik
itu sebagai teori persial daripada suatu pendekatan yang lebih dapat
menjelaskan seluruh realitas sosial.
Karya-karya couser juga mengandung
kelemahan-kelemahan metodelogis dan di dalam teori couser terdapat suatu kesan
penalaran yang berbelit-belit.
Terimakasih sangat membantu, tetapi akan lebih baik jika background tulisanya putih saja atau warna lain agar mudah di baca. tetap berkarya dan saling membantu.
BalasHapus#sekedar saran