Rabu, 30 Mei 2012

GLOBAL SOCIAL CHANGE ~


Globalisasi
Globalisasi merupakan suatu proses yang mencakup keseluruhan dalam berbagai bidang kehidupan sehingga tidak tampak lagi adanya batas-batas yang mengikat secara nyata, sehingga sulit untuk disaring atau dikontrol.
Adapun konsep globalisasi menurut pendapat para ahli adalah :
Malcom Waters
Globalisasi adalah sebuah proses sosial yang berakibat bahwa pembatasan geografis pada keadaan sosial budaya menjadi kurang penting, yang terjelma didalam kesadaran orang.
Emanuel Ritcher
Globalisasi adalah jaringan kerja global secara bersamaan menyatukan masyarakat yang sebelumnya terpencar-pencar dan terisolasi kedalam saling ketergantungan dan persatuan dunia.
Thomas L. Friedman
Globlisasi memiliki dimensi ideologi dan teknlogi. Dimensi teknologi yaitu
kapitalisme dan pasar bebas, sedangkan dimensi teknologi adalah teknologi informasi yang telah menyatukan dunia.
Princenton N. Lyman
Globalisasi adalah pertumbuhan yang sangat cepat atas saling ketergantungan dan hubungan antara Negara-negara didunia dalam hal perdagangan dan keuangan.


Leonor Briones
Demokrasi bukan hanya dalam bidang perniagaan dan ekonomi namun juga mencakup globalisasi institusi-institusi demokratis, pembangunan sosial, hak asasi manusia, dan pergerakan wanita
Proses Globalisasi
Perkembangan yang paling menonjol dalam era globalisasi adalah globalisasi informasi, demikian juga dalam bidang sosial seperti gaya hidup.
Serta hal ini dapat dipicu dari adanya penunjang arus informasi global melalui siaran televise baik langsung maupun tidak langsung, dapat menimbulkan rasa simpati masyarakat namun bisa juga menimbulkan kesenjangan sosial.
Terjadinya perubahan nilai-nilai sosial pada masyarakat, sehingga memunculkan kelompok spesialis diluar negeri dari pada dinegaranya sendiri, seperti meniru gaya punk, cara bergaul.
Dampak Globalisasi
Globalisasi telah menimbulkan dampak yang begitu besar dalam dimensi kehidupan manusia, karena globalisasi merupakan proses internasionalisasi seluruh tatanan masyarakan modern.
Sehingga terjadi dampak yang beragam terutama pada aspek sosial dampak positif nya kemajuan teknologi komunikasi dan informasi mempermudah manusia dalam berinteraksi dengan manusia lainnya.
Sedangkan dampak negatifnya, banyaknya nilai dan budaya masyarakat yang mengalami perubahan dengan cara meniru atau menerapkannya secara selektif, salah satu contoh dengan hadirnya modernisasi disegala bidang kehidupan, terjadi perubahan ciri kehidupan masyarakat desa yang tadinya syarat dengan nilai-nilai gotong royong menjadi individual. Selain itu juga timbulnya sifat ingin serba mudah dan gampang (instant) pada diri seseorang. Pada sebagian masyarakat, juga sudah banyak yang mengikuti nilai-nilai budaya luar yang dapat terjadi dehumanisasi yaitu derajat manusia nantinya tidak dihargai karena lebih banyak menggunakan mesin-mesin berteknologi tinggi.
Merosotnya Moral Remaja
Sebagai tulang punggung bangsa, penerus tongkat estafet, remaja punya peranan yang sangat penting dalam mengisi pembangunan. Dalam negara manapun remaja adalah penerus pembangunan.
dekimian halnya juga di indonesia, tidak terlepas dari hal ini.  merosotnya moral generasi muda dalam hal ini remaja, merupakan pertanda akan akan merosotnya moral anak bangsa.
dewasa ini sangat tidak bisa dipungkiri, ketidak mampuan remaja dalam filterisasi budaya yang datang dari luar merupakan penyebab merosotnya moral para penerus tonggak bangsa ini. belum lagi lingkungan dimana mereka tinggal yang terkadang tidak mendukung pembentukan moral mereka. Para anak remaja dewasa ini lebih mencintai budaya yang didatangkan dari luar.
Media massa merupakan salah satu faktor penting yang mempunyai pengaruh dalam pembentukan kepribadian anak-anak remaja. Pemutaran  film-film yang kurang mendidik moral generasi sangat di sayangkan. Dapat kita saksikan setiap hari di layar tv adegan-adegan yang sama sekali merusak moral anak-anak remaja bangsa ini. Apalagi anak-anak yang masih belia sudah akting pacaran dalam film. Sadar atau tidak semua itu sangat berpengaruh bagi generasi bangsa ini. sehingga tidak jarang setiap hari kita mendengar terjadi kasus asusila di kalangan anak remaja, tragisnya lagi terjadi pada anak usia SD. sering kita dengar bahwa si A yang nota bene adalah anak usia SD dan SMP melakukan kasus asusila terhadap temannya yang sama adalah SD maupun SMP juga, ketika di tanya sering mereka jawab bahwa mereka meniru adegan ciuman yang di tayangkan pada film-film. bahkan lebih rusaknya lagi, anak-anak remaja dewasa ini tidak jarang kita saksikan mereka berjalan dan berciuman dengan lawan jenisnya yang sama sekali bukan saudaranya, itu terjadi didepan umum, mereka menganggap seolah-olah itu hal yang biasa, demikian juga dengan orang-orang yang menyaksikan hal itu, seakan mereka menutup mata dengan hal itu.
Semestinya, dalam menampilkannya, baik di film-film maupun di media massa seharusnya lebih memperlihatkan budaya yang baik untuk ditiru oleh generasi bangsa ini, harus banyak mengandung pesan moral yang bermanfaat, bukan sebaliknya membuat kepribadian generasi bangsa ini keluar dari etika dan norma. juka hal ini akan terus di biarkan, maka bukan suatu keniscayaan akan hancurnya bangsa ini.
Yang lebih parah lagi adalah terjadi di kalangan mahasiswa di perguruan tinggi yang merupakan agen of change. Dapat kita lihat hampir 75 %  mahasiswa baik diperguruan tinggi negeri maupun swasta, menggunakan busana yang tidak patut untuk dipakai dalam menuntut ilmu. Para pengajar juga seakan-akan melihatnya sebagai hal yang suatu hal yang baik, pada hal secara yuridis sangat bertentangan dengan aturan akademik.
Penggunaan busana yang terkadang memperlihatkan sebagian dari anggota tubuh mahasiswa maupun pelajar, busana yang kecil ukurannya.
Mendewakan akal,  juga merupakan suatu faktor yang berpengaruh terhadap kepribadian anak remaja. Kebebasan berpikir yang tanpa di landasi dengan norma dan etika agama yang memadai ini, banyak membuat kalangan anak remaja menjadi kurang beretika. Hal ini dapat kita lihat keberanian mereka dalam membantah perkatan serta nasihat mereka orang tua.
Keluarga juga terkadang membuat anak remaja menjadi kurang beretikan. pendidikan dalam keluargalah yang  merupakan faktor penting dalam pembentukan kepribadian anak remaja. karena banyak waktu yang tersedia dalam keluarga.
Terkikisnya budaya
Kebudayaan Barat di Indonesia
Positif :
-    Terlihat di unsur kebudayaan kebendaan, unsur – unsur yang terbukti membawa manfaat besar, unsur – unsur yang dengan mudah disesuaikan dengan keadaan masyarakat yang menerima unsur – unsur tersebut.
-    Kita dapat berinteraksi dan mengetahui budaya Negara lain dan mengetahui perkembangan Era globalisasi dengan cepat.
Negatif :
-    Nilai-nilai budaya Indonesia saat ini mulai terkikis oleh masuknya budaya barat. Pemerintah, masyarakat, dan pelaku budaya perlahan meninggalkan budaya tradisional dengan alasan mengikuti arus globalisasi. Akibatnya, bangsa Indonesia kehilangan ciri atau citra bangsa di mata dunia.
-    Budaya memiliki banyak arti yang berkaitan dengan suatu bangsa. Budaya bisa berarti akal budi atau pikiran. Akal budi bangsa Indonesia mulai luntur seiring dengan terkikisnya nilai budaya. Sebagai contoh, Jakarta berubah menjadi kota yang tidak memiliki budaya tradisional. Hal tersebut jelas terlihat dari penggunaan bahasa Indonesia. Warga yang tinggal di kota besar tidak lagi menggunakan bahasa yang baik dan benar.
-    Bahasa Indonesia posisinya mulai digantikan dengan bahasa Inggris atau bahasa gaul. Bahkan, dalam sebuah persyaratan melamar pekerjaan bahasa Inggris menjadi bahasa yang wajib dimengerti oleh semua pelamar.
-    Fakta tersebut menunjukkan bahasa Indonesia tidak penting lagi. Bahasa, kesenian, dan budaya Indonesia mulai diabaikan.
-    Nilai budaya yang makin terkikis berdampak pada generasi muda. Sejarah berdirinya Indonesia dikhawatirkan akan menjadi cerita usang yang tidak menarik di kalangan generasi muda.
Situasi Budaya di Indonesia
        Kurang kuatnya kemampuan mengeluarkan energi pada manusia Indonesia. Hal ini mengakibatkan kurang adanya daya tindak atau kemampuan berbuat. Rencana konsep yang baik, hasil dari otak cerdas, tinggal dan rencana dan konsep belaka karena kurang mampu untuk merealisasikannya. Akibat lainnya adalah pada disiplin dan pengendalikan diri. Lemahnya disiplin bukan karena kurang kesadaran terhadap ketentuan dan peraturan yang berlaku, melainkan karena kurang mampu untuk membawakan diri masing-masing menetapi peraturan dan ketentuan yang berlaku. Kurangnya kemampuan mengeluarkan energi juga berakibat pada besarnya ketergantungan pada orang lain. Kemandirian sukar ditemukan dan mempunyai dampak dalam segala aspek kehidupan termasuk kepemimpinan dan tanggung jawab.
        Kelemahan ini merupakan Kelemahan Kebudayaan. Artinya, perbaikan dari keadaan lemah itu hanya dapat dicapai melalui pendekatan budaya. Pemecahannya harus melalui pendidikan dalam arti luas dan Nation and Character Building.




Social Change (Perubahan Sosial)
http://jurnalperempuan.com/wp-content/uploads/2011/05/philippines-women-protest-vs-toxic-150x150.jpg
Dalam kalangan feminis yang memperjuangkan kesetaraan hak, istilah perubahan sosial adalah suatu agenda jangka pendek yang mempromosikan rekruitmen kalangan perempuan, dalam jangka waktu tertentu, untuk masuk wilayah kekuasaan di mana mereka sebelumnya tidak pernah dilibatkan. Misalnya dengan meningkatkan representasi politik perempuan dalam lembaga-lembaga negara atau representasi perempuan dalam berbagai profesi tertentu.
Kalangan feminis radikal menganggap bahwa teori perubahan sosial yang benar-benar feminis hanya mungkin terjadi dalam feminisme radikal. Sebagai contoh Ti-Grace Atkinson, seorang aktivis feminis radikal, yang mengatakan bahwa kalangan lesbian adalah satu-satunya kelompok yang mampu berpikir secara radikal mengenai kemungkinan perubahan sosial tanpa harus merujuk kepada peran dan posisi gender yang ada dalam masyarakat.

TEORI MOTIVASI - KINERJA


2.2.1. Motivasi Kerja
Motivasi merupakan materi yang paling luas dibicarakan dalam studi perilaku organisasi (Scholl, 2002). Konsekuensi tersebut, berkaitan dengan kepentingan manajemen untuk menggerakkan dan mengarahkan perilaku anggota organisasi dalam rangka mencapai keberhasilan organisasi. Meskipun demikian,  motivasi bukanlah topik sederhana, karena sulitnya memahami dan memprediksi perilaku (Kast dan Rozenweigh, 1990:389), sulitnya didefinisikan dan dianalisis (Gibson, et al, 1996:183), dan perbedaan asumsi dalam menjelaskan perilaku (Scholl, 2002). Penjelasan Gibson, et al (1996:183) berikut menggambarkan perdebatan seputar konsep motivasi:
“Terlepas dari kepentingannya yang nyata, motivasi sulit untuk didefinisikan dan dianalisis. Dengan satu definisi, motivasi berkaitan dengan (1) arah dari perilaku, (2) kekuatan tanggapan, yaitu upaya pada saat seorang pekerja memilih suatu arah tindakan, dan (3) keteguhan perilaku atau berapa lama seseorang terus menerus berperilaku tertentu. Pandangan lain menyarankan bahwa analisis motivasi harus memusatkan diri pada faktor-faktor yang membangkitkan dan mengarahkan aktivitas seseorang. Seorang ahli teori menekankan aspek kelangsungan arah tujuan dari motivasi. Ahli teori lain menyatakan bahwa motivasi berhubungan dengan bagaimana perilaku dimulai, digiatkan, dipertahankan, diarahkan dan dihentikan, serta reaksi subyektif macam apa yang ada pada saat semua ini terjadi.”

Berkaitan kesulitan dalam menganalisis konsep motivasi, Gibson, et al (1996:184) konsep motivasi akan lebih mudah diamati jika dilihat sebagai konsep yang digunakan untuk menjelaskan perbedaan-perbedaan intensitas dalam perilaku (mengenai perilaku yang lebih intens sebagai hasil dari tingkat motivasi yang lebih tinggi) dan juga untuk menunjukkan arah tindakan. Pendapat senada dikemukakan Scholl (2002) bahwa motivasi adalah perilaku spesifik yang berkaitan dengan tiga aspek, yaitu kekuatan/faktor yang (1) mendorong timbulnya perilaku (energies behavior), (2) mengarahkan perilaku (directs behavior), dan (3) mempertahankan perilaku (sustains behavior). Penjelasan lebih rinci dari ketiga aspek motivasi tersebut adalah sebagai berikut:
a.       Energies behavior, Apakah yang mendorong timbulnya perilaku, pola-pola perilaku, atau perubahan perilaku? Apakah yang menentukan tingkat usaha/upaya (effort) dan seberapa giat/keras seseorang bekerja? Aspek ini berkaitan dengan apa yang memotivasi seseorang.
b.      Directs behavior- Apakah yang menentukan seseorang memilih perilaku tertentu? Aspek ini berkaitan dengan pilihan berbagai alternatif perilaku.
c.       Sustains behavior- Apakah yang menentukan seseorang mempertahankan pola perilaku? Aspek ini terkait dengan seberapa besar perilaku akan dipertahankan atau dihentikan.
Lebih lanjut Scholl (2002) menyatakan “motivation is behaviorally specific, that is, it is more appropriate to think in terms of an individual's motivation to excel in a particular job requirement or even to carry out a specific behavior than it is to think about an individual's overall motivation.” Pendapat Scholl ini, memberikan pemahaman bahwa dalam melihat motivasi, perlu ditekankan pada perilaku tertentu diperlukan untuk melaksanakan suatu tugas, daripada melihat motivasi seseorang secara menyeluruh.
Pendapat Kanfer (1999) berikut dapat memperjelas penjelasan Scholl (2002) dan menjembatani perdebatan dalam menganalisis konsep motivasi, seperti diidentifikasi Kast dan Rozenweigh (1990:389) dan Gibson, et al (1996:183). Kanfer (1999) melihat konsep motivasi dalam dua pengertian, yaitu motivasi dalam pengertian umum atau motivasi manusia (human motivation) secara umum dan motivasi kerja atau motivasi pada konteks pekerjaan. Pada konteks umum, Kanfer (1999) merujuk Vroom (1964), mendefinisikan motivasi manusia sebagai proses psikologis yang mempengaruhi arah, intensitas, dan keteguhan berbagai tindakan. Arah berkaitan dengan pilihan tindakan, intensitas berkaitan dengan kekuatan tindakan, dan keteguhan berkaitan dengan konsistensi tetap mempertahankan atau meneruskan tindakan. Tindakan-tindakan tersebut tidak semata-mata berkaitan dengan perbedaan kecakapan individual untuk memenuhi kuatnya dorongan kebutuhan yang mendesak (saat ini), melainkan kebutuhan dalam arti luas yang ingin dicapai individu mendatang. Pilihan profesi atau pekerjaan merupakan salah satu contoh pengertian motivasi manusia secara luas.
Motivasi kerja merupakan bagian motivasi manusia secara umum. Kanfer (1999) mendefinisikan motivasi kerja sebagai proses psikologis yang berimplikasi langsung terhadap perilaku individu pada konteks pekerjaan, yaitu perilaku-perilaku yang mempengaruhi pencapaian tujuan (goals) dan penyelesaian tugas-tugas (tasks) di tempat kerja. Apa yang disebut tujuan adalah pencapaian hasil kerja atau penyelesaian pekerjaan sesuai standar yang ditentukan organisasi.
Pada konteks pekerjaan, motivasi menekankan pada faktor-faktor personal dan situasional, yang telah dikembangkan teori motivasi, yang dinilai berdampak penting terhadap pencapaian produktivitas dan keberhasilan organisasi. Oleh karena itu, studi motivasi pada konteks ini, memfokuskan pada perilaku karyawan dalam menunaikan tugas-tugas untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan organisasi. Pada konteks pekerjaan tersebut, pencapaian tujuan dan tugas-tugas yang diharapkan organisasi perlu dilihat dalam perspektif transaksional atau pertukaran (Kanfer, 1999), yaitu adanya transfer nilai secara timbal balik antara individu dengan organisasi, yang memungkinkan tercapainya tujuan individu dan organisasi secara bersamaan melalui proses pertukaran tersebut.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Motivasi berkaitan dengan intensitas/kekuatan perilaku. Oleh karena itu, aspek perilaku inilah yang menjadi fokus pengamatan dalam melakukan pengukuran motivasi, atau dengan kata lain, jika kita ingin melihat perbedaan motivasi di antara para karyawan, maka dapat dilihat dari intensitas perilaku.
2.      Motivasi mengarah pada pencapaian tujuan. Hal ini berarti bahwa intensitas perilaku akan berpengaruh terhadap pencapaian hasil atau prestasi.
3.      Sebagai perilaku spesifik, pemahaman motivasi memerlukan konteks yang jelas, yaitu intensitas perilaku yang diperlukan untuk melaksanakan tugas-tugas atau pekerjaan tertentu untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu, sebagai perilaku, ada faktor penyebab (anteseden) dan akibat (konsekuensi) motivasi.

2.2.1.1. Klasifikasi Teori Motivasi dan Sumber-sumber Motivasi
Teori-teori motivasi secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu content theory (teori isi), disebut juga teori kepuasan dan process theory (teori proses) (Sashkin dan Morris, 1984:67; Gibson, et al, 1996:187-188). Pada intinya semua teori motivasi berusaha menjelaskan perilaku individu dalam tiga aspek, yaitu bagaimana perilaku digerakkan, diarahkan dan dipertahankan. Namun demikian, tidak ada satu pun teori motivasi yang dapat menjelaskan perilaku individu secara lengkap. Content theory menfokuskan pada faktor-faktor dari dalam diri seseorang yang mendorong, mengarahkan, mempertahankan dan menghentikan perilaku, sedangkan process theory berusaha menjelaskan dan menganalisis bagaimana perilaku didorong, diarahkan, dipertahankan dan dihentikan (Gibson, et al, 1996:187-188).
Yang termasuk dalam kategori teori isi adalah teori hierarki kebutuhan Maslow, teori kebutuhan ERG (existence, relatedness, and growth) Alderfer, teori dua faktor Herzberg, dan teori prestasi McClelland (Gibson, et al., 1996:189). Teori-teori tersebut disebut juga teori kebutuhan. Sedangkan teori proses meliputi teori harapan, teori keadilan, teori penguatan/modifikasi perilaku, dan teori penetapan tujuan (Gibson, et al, 1996:267).
Masing-masing teori motivasi, memiliki seperangkat premis (asumsi) yang berbeda. Teori-teori isi didasarkan pada premis bahwa kebutuhan yang belum terpuaskan (unsatisfied need) merupakan pendorong utama perilaku seseorang. Oleh karena itu, teori isi disebut teori kebutuhan, karena kebutuhan merupakan pendorong perilaku, meskipun masing-masing teori tersebut memberikan penjelasan berbeda terhadap jenis-jenis kebutuhan. Namun demikian, secara konvergen kebutuhan didefinisikan sebagai defesiensi (kondisi kekurangan) yang dialami seseorang pada waktu tertentu (Gibson, et al, 1996:266).
Teori-teori proses mendasarkan pada premis yang bervariasi. Teori harapan, teori keadilan dan teori penetapan tujuan (goal setting) mendasarkan pada asumsi bahwa perilaku individu merupakan fungsi dari keyakinan (beliefs), harapan, nilai, dan faktor-faktor kognitif lainnya. Oleh karena itu, teori harapan dan teori keadilan disebut juga sebagai teori kognitif. Teori penguatan dilandasi asumsi bahwa perilaku dapat dikendalikan oleh konsekuensinya, bukan oleh kondisi internal individu, seperti naluri, emosi, kebutuhan, atau sikap. Disadari tidak ada satupun teori motivasi yang dapat menjelaskan perilaku individu secara lengkap pada konteks pekerjaan. Akan tetapi telah terbukti bahwa teori-teori tersebut dapat membantu praktek manajemen, terutama dalam menggerakkan karyawan agar bekerja lebih baik dalam rangka mencapai keberhasilan organisasi.
Sebagaimana penjelasan sebelumnya, kekuatan motivasi individu tercermin dari intensitas perilaku atau upaya dalam melaksanakan tugas-tugas tertentu yang mengarah pada pencapaian tujuan. Sebagai bentuk perilaku, berarti motivasi ada penyebabnya dan akibatnya. Penyebab (anteseden) adalah faktor yang diidentifikasi mempengaruhi kekuatan motivasi, sedangkan akibatnya (konsekuensi) mencerminkan hasil kekuatan motivasi. Beberapa ahli melihat bahwa konsekuensi motivasi yang utama adalah kinerja. Artinya semakin kuat motivasi, maka kemungkinan kinerja yang dihasilkan akan semakin baik. Namun demikian, motivasi bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi kinerja (Gibson, et al., 1996:180). Hal ini berkaitan dengan pentingnya motivasi.
Dalam mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi, maka dapat ditinjau dari apa yang menjadi sumber motivasi itu sendiri. DeCharms (1968), dikutip Leonard, et al (1999) membagi sumber motivasi menjadi dua, yaitu ekstrinsik (eksternal) dan intrinsik (internal). Motivasi ekstrinsik adalah  kekuatan dari luar yang mendorong motivasi, sedangkan motivasi intrinsik adalah pendorong motivasi ketika tidak ada kontrol/pengaruh dari faktor eksternal. Leonard, et al (1999) mengutip sumber-sumber lain bahwa motivasi intrinsik adalah perilaku untuk mengerjakan tugas yang menantang (Deci, 1975), ekspresi diri (Katz dan Kahn, 1978), keterlibatan moral diri sebagai hasil dari internalisasi nilai dan keterlibatan moral sosial sebagai hasil dari pengaruh umpan balik kelompok referensi (Etzioni, 1975).
Sumber-sumber motivasi tersebut, telah banyak dijelaskan dalam teori motivasi (teori isi dan teori proses). Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa perilaku seseorang terdorong baik oleh faktor internal (dalam diri) atau faktor eksternal (lingkungan). Berbasis teori motivasi yang sudah ada sebelumnya, Leonard, et al (1999) menyusun model sumber-sumber motivasi (motivation sources) yang terbagi dalam lima klasifikasi, yaitu: (1) instrumental motivation, (2) intrinsic process motivation, (3) goal internalization, (4) internal self concept-based motivation, dan (5) external self concept-based motivation. Tabel 2.1 merangkum lima sumber motivasi dan keterhubungannya dengan teori-teori motivasi sebelumnya.
Sumber: Nancy  H. Leonard, L.L. Beauvais,  &  Richard W. Scholl, “Work motivation: The incorporation of self based processes,” Human Relations, 52, 1999, pp. 969-998.

Penjelasan dari kelima sumber motivasi tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Instrumental motivation
Instrumental menjadi sumber motivasi ketika seseorang yakin bahwa tindakan yang dijalankan akan menghasilkan imbalan (outcome), seperti bayaran, penghargaan, promosi, dll. Reward dalam pengertian lebih luas adalah meliputi imbalan ekonomis, psikologis, dan sosiologis (Davis dan Newstrom (1989). Asumsi dasar dari sumber motivasi ini adalah bahwa individu dan organisasi terikat dalam hubungan pertukaran (exchange relationship). Dua teori motivasi, teori expectancy dan teori equity dewasa ini dipahami sebagai teori motivasi yang berbasis exchange relationship.
2.    Intrinsic process motivation
Proses motivasi intrinsik terjadi ketika individu hanya melakukan tindakan, karena senang melakukan (fun). Dengan kata lain, motivasi bersumber dari pekerjaan sendiri. Tidak ada kontrol faktor eksternal dalam tindakan tersebut.
3.    Goal internalization
Perilaku dimotivasi oleh internalisasi tujuan, ketika individu menerima sikap dan perilaku, karena konsep dirinya sesuai dengan sistem nilai yang ada (Kelman, 1958). Beberapa peneliti menggunakan konstruk goal internalization sebagai salah satu dimensi komitmen organisasional (Leonard, et al, 1999).
4.    Internal self concept-based Motivation
Konsep diri (self concept) menjadi sumber motivasi intrinsik, ketika perilaku individu terutama diarahkan diri sendiri (inner-directed). Internal self concept motivation merupakan bentuk dari penetapan standar bagi diri orang tersebut, yang menjadi dasar penentuan standar ideal seseorang bertindak. Individu cenderung menggunakan ukuran yang tetap dalam menentukan standar, karena dia berusaha untuk menjadi yang terbaik, dan memperkuat persepsi atas kompetensinya untuk meningkatkan kompetensi berikutnya.  Sumber motivasi ini identik dengan kebutuhan berprestasi menurut teori McClelland. 
5.    External self concept-based motivation
Motivasi berbasis external self-concept, ketika perilaku individu terutama terdorong oleh orang lain. Pada konteks ini, konsep diri seseorang terbentuk dengan cara mengadopsi harapan peran (role) dari kelompok referensinya. Individu berusaha memenuhi harapan kelompok referensinya dan memperoleh umpan balik/pengakuan yang sesuai. Berikutnya, individu akan berperilaku yang dapat memuaskan anggota kelompok referensinya, pertama untuk memperoleh pengakuan dan selanjutnya memperoleh status. Sumber motivasi ini identik dengan kebutuhan berafiliasi dan kebutuhan kekuasaan dari McClelland, serta kebutuhan keterlibatan sosial dari Etzioni.
Dari lima klasifikasi sumber motivasi, dua diantaranya akan dikaji pada penelitian ini, yaitu instrumentalitas dan goal internalization. Goal internalization merupakan salah satu indikator pengukuran komitmen organisasional. Berkaitan dengan motivasi yang bersumber instrumentalitas (hubungan pertukaran).

2.2.1.2. Teori Motivasi Berbasis Perspektif Transaksional
Scholl (1981) menyatakan perspektif transaksional digunakan menjelaskan hubungan individu dengan organisasi, pertama kali dikembangkan oleh Barnard (1938) dan dilanjutkan March dan Simon (1958). Menurut perspektif transaksional, seseorang bersedia bergabung dan memberikan kontribusi pada organisasi, karena dorongan untuk memperoleh reward (Scholl, 1981). Perspektif ini, pada masa berikutnya mendominasi studi tentang motivasi kerja.
Penjelasan Davis dan Newstrom (1989:44) bahwa ketika seseorang bergabung dengan organisasi secara otomatis terbentuk perjanjian psikologis dan perjanjian ekonomis antara kedua pihak, mempertegas perspektif transaksional. Perjanjian psikologis menetapkan syarat keterlibatan psikologis masing-masing karyawan dengan sistem yang ada di perusahaan. Karyawan setuju mencurahkan tenaga dan loyalitasnya pada kadar tertentu, tetapi sebaliknya yang dituntut bukan hanya imbalan ekonomis, melainkan juga terpenuhinya kebutuhan rasa aman, perlakuan wajar, hubungan baik dengan sesama karyawan, dan dukungan untuk mencapai harapannya. Menurut Davis dan Newstrom (1989:44), konsekuensi dari pelaksanaan perjanjian tersebut adalah:
1.      Bagi karyawan, apabila harapan terpenuhi, maka karyawan memiliki kepuasan kerja tinggi, prestasi tinggi, dan tetap bertahan dalam perusahaan, sebaliknya jika harapan tidak terpenuhi, maka kepuasan kerja rendah, prestasi rendah, dan mungkin mengundurkan diri.
2.      Bagi perusahaan, jika harapan terpenuhi, maka karyawan dipertahankan dan mungkin dipromosikan, sebaliknya jika harapan tidak terpenuhi, maka dilakukan perbaikan, pendisiplinan, dan mungkin memberhentikan karyawan.
Dua teori yang dikenal luas menggunakan perspektif transaksional adalah teori harapan (expectancy theory) dari Vroom dan teori keadilan (equity theory) dari Adam (Kanfer, 1999; Scholl, 1981 & 2002; Leonard, et al, 1999). Oleh karena itu, sesuai lingkup penelitian telaah terhadap teori motivasi lebih rinci akan dibatasi pada dua teori tersebut.
2.2.1.2.1. Teori Harapan (Expectancy Theory)
Teori Expectancy atau teori harapan dikembangkan oleh Vroom tahun 1964 (Scholl, 1981; Kanfer, 1999). Menurut Vroom, performance atau prestasi (P) seseorang merupakan fungsi dari motivasi (M) dengan ability (A). Secara matematis hubungan tersebut dapat dirumuskan sebagai:
P = f (M x A)
di mana: P = Performance atau prestasi
              M = Motivasi
              A = Ability atau kemampuan
Menurut Vroom, alasan dari hubungan perkalian ini bahwa jika seseorang rendah pada salah satu komponennya, maka prestasinya juga akan rendah. Oleh sebab itu untuk berhasil dalam menjalankan tugas atau berprestasi tinggi, maka seseorang harus memiliki kemampuan (ability) dan motivasi yang tinggi. Tinggi rendahnya tingkat motivasi seseorang menurut Vroom ditentukan oleh interaksi tiga komponen, yaitu expectancy, instrumentalitas, dan valensi. Gambar 2.1 berikut mengilustrasikan Model Teori Harapan.







Motivational factors

Force directing specific behavioral alternatives

=

Expectancy

Perceived probability that effort will lead to good performance

x

Instrumentality

Perceived probability that good performance will lead to desired outcomes (rewards)

x

Valence

Value of expected outcomes to the individual
















Self-efficacy
Goal difficulty
Perceived control

Trust
Control
Policies

Values
Needs
Goals preference







Gambar 2.1.
Model Expectancy Theory

Sumber: Richard W. Scholl, 2002, Motivational Process: Expectancy Theory, http://www.cba.uri.edu/scholl
Expectancy theory dapat membantu memahami bagaimana individu memutuskan untuk memilih berbagai alternatif perilaku. Teori ini lebih tepat dikaitkan dengan aspek arah (direction) dari motivasi, yaitu berkaitan dengan pemilihan perilaku, yang sesuai dengan pencapaian tujuan individu. Proposisi dari teori harapan adalah sebagai berikut:
1.      Ketika dihadapkan berbagai alternatif perilaku, individu akan memilih alternatif yang memiliki motivasi terkuat (greatest motivation force).
2.      Motivation force (MF) suatu perilaku, tindakan atau tugas adalah fungsi dari persepsi individu terhadap tiga variabel, yaitu harapan (expectancy), intrumentalitas (I), dan valence (V). Secara matematis dapat dirumuskan: MF= Expectancy x Instrumentality x Valance. Penjelasannya adalah:
a. Expectancy (probabilitas E®P), yaitu keyakinan individu terhadap probalitas dari usaha (effort=E) yang dilakukan akan mencapai tujuan atau prestasi yang diharapkan (P). Keyakinan tersebut dipengaruhi oleh:
1)        Self-efficacy (kepercayaan diri), yaitu keyakinan seseorang bahwa terhadap kemampuannya (ability) untuk melaksanakan tugas dengan berhasil. Apakah individu yakin bahwa ketrampilan dan kompetensinya layak untuk menjalankan tugas dengan berhasil?
2)        Tingkat kesulitan pencapaian tujuan/prestasi yang diharapkan. Jika individu menilai bahwa tujuan tersebut sulit dicapai, maka motivasi akan rendah, karena expectancy juga rendah.
3)  Persepsi individu dapat mengendalikan tujuan (perceived control). Agar expectancy kuat, individu harus yakin pada tingkat tertentu dapat mengendalikan tujuan. Jika tidak, maka expectancy akan rendah, sehingga motivasi juga rendah. Contoh, dalam kasus penilaian kinerja karyawan, yang digunakan basis imbalan, jika individu tidak memiliki akses dalam menentukan peringkat kinerja, maka metode tersebut mungkin dapat merangsang karyawan meningkatkan usahanya.
b.    Instrumentality (probabilitas P®R): yaitu keyakinan bahwa jika seseorang dapat mencapai kinerja (P) yang diharapkan akan memperoleh reward (R) yang lebih baik. Reward dapat berupa kenaikan gaji, bonus, promosi, penghargaan, dll. Jika reward yang diperoleh sama untuk semua tingkat kinerja, maka instrumentalitas akan rendah. Variabel-variabel yang mempengaruhi instrumentalitas meliputi persepsi individu terhadap:
a)    Kepercayaan pada manajemen/pimpinan atas imbalan yang dijanjikan.
b)   Kontrol, yaitu ketika karyawan tidak percaya atau memiliki kepercayaan rendah pada manajemen/pimpinan, karyawan yakin memiliki kekuatan untuk mendapatkan reward. Semakin tinggi kekuatan kontrol karyawan, maka instrumentalitas semakin tinggi.
c)    Kebijakan, yaitu berkaitan dengan aturan formal (tertulis) dalam penentuan imbalan. Semakin formal kebijakan penentuan imbalan, maka instrumentalitas semakin tinggi.
c.    Valance (V(R)): seberapa bernilai atau penting reward yang akan diterima bagi individu. Variabel-variabel yang mempengaruhi valance meliputi:
1)   Nilai, yaitu berkaitan dengan besaran reward.
2)   Kebutuhan, yaitu mendesak tidaknya kebutuhan yang dirasakan.
3)   Preferensi tujuan, yaitu berkaitan dengan jenis tujuan atau kebutuhan yang sesuai dengan reward. Contoh jika seseorang menginginkan promosi, maka promosi tersebut memiliki valensi yang kuat. Setiap orang mempunyai sasaran-sasaran pribadi yang berbeda dari kinerja yang diberikan. Konsekuensi ini jelas akan menghasilkan nilai (valence) yang berbeda antar karyawan satu dengan yang lain.
Berdasarkan penjelasan teori harapan, tampak bahwa faktor utama yang mendorong kekuatan motivasi adalah keyakinan individu, yaitu keyakinan dapat mengerjakan tugas yang diharapkan, keyakinan memperoleh imbalan (instrumentalitas), dan keyakinan imbalan yang diperoleh sesuai preferensinya. ko Unsur keyakinan tersebut dijelaskan Scholl (2002) bahwa:
“E<SPAN style="FONT-FAMILY: Georgia">xpectancy and instrumentality are attitudes </SPAN><SPAN style="COLOR: blue; FONT-FAMILY: Georgia"></SPAN><SPAN style="FONT-FAMILY: Georgia">, or more specifically, they are cognition.<SPAN style="mso-spacerun: yes"> </SPAN>As such, they represent an individual's </SPAN><SPAN style="COLOR: red; FONT-FAMILY: Georgia">perception</SPAN><SPAN style="FONT-FAMILY: Georgia"> of the likelihood that effort will lead to performance and performance will lead to the desired outcomes.<SPAN style="mso-spacerun: yes">  </SPAN>These perceptions represent the individual’s </SPAN><SPAN style="COLOR: blue; FONT-FAMILY: Georgia">subjective reality</SPAN><SPAN style="FONT-FAMILY: Georgia">, and may or may not bear close resemblance to actual probabilities.<SPAN style="mso-spacerun: yes">  </SPAN>These perceptions are tempered by the individual's experiences (learning theory), observations of others (social learning theory), and self-perceptions.</SPAN><SPAN style="FONT-FAMILY: Rockwell"><o:p></o:p></SPAN>

Berdasarkan penjelasan Scholl tersebut dapat diinterpetasi bahwa expectancy dan instrumentalitas merupakan kognisi, yang mencerminkan persepsi individu bahwa usaha yang dilakukan akan menghasilkan kinerja, dan kinerja akan menghasilkan imbalan yang diharapkan. Oleh karena itu, expectancy dan instrumentalitas lebih mencerminkan keyakinan subyektif daripada probabilitas nyata, yang terbentuk melalui pengalaman pribadi sebelumnya dan pengamatan terhadap lingkungan, sebagai hasil proses pembelajaran.
Interpretasi teori harapan berlandaskan keyakinan subyektif, dijelaskan pula oleh Kanfer (1999). Kanfer berpendapat bahwa dalam proses pemilihan suatu tujuan (goal choice), seseorang akan melakukan kalkulasi internal terlebih dahulu, terhadap tiga fungsi subyektifnya (subjective functions) yang saling terkait, yaitu: (1) fungsi upaya-utilitas (effort–utility function), (2) fungsi kinerja-utilitas (performance–utility function), dan (3) fungsi upaya-kinerja (effort–performance function). Penjelasannya adalah sebagai berikut:
1.    Effort–utility function, menjelaskan seberapa besar sumber daya (waktu dan usaha) yang seharusnya dicurahkan untuk mencapai suatu manfaat atau nilai imbalan sesuai dengan preferensinya. Fungsi ini identik dengan valensi. Fungsi subyektif ini dipengaruhi oleh faktor personal karyawan, sosial dan budaya. Misal preferensi dalam mencapai prestasi. Karyawan yang berorientasi prestasi tinggi (high achievement), cenderung berupaya lebih keras daripada sebaliknya. Motivasi karyawan terkuat terjadi ketika upaya yang diperlukan untuk mencapai tujuan sesuai dengan tingkat upaya yang dikeluarkan.
2.    Performance–utility function, menjelaskan hubungan antara berbagai tingkat pencapaian tujuan (prestasi) dengan nilai imbalan yang akan diterima individu. Fungsi ini dipengaruhi oleh kebijakan sistem imbalan organisasi. Fungsi ini identik dengan instrumentalitas (P®R). Kanfer (1999) menegaskan bahwa fungsi performance–utility mencerminkan persepsi karyawan terhadap total imbalan meliputi imbalan intrinsik dan ekstrinsik yang akan diterima.
3.    Effort–performance function, menjelaskan hubungan antara upaya dengan pencapaian prestasi. Karakteristik tugas dan personalitas, misal tingkat kesulitan dan kepercayaan diri karyawan berpengaruh terhadap fungsi ini. Effort–performance function identik dengan expectancy (P®R) menurut expectancy theory.

2.2.1.2.2. Teori Keadilan (Equity Theory)
Varian equity theory yang paling luas dikaji adalah versi teori yang dikembangkan Adam. Prinsip teori ini adalah bahwa orang akan merasa puas atau tidak puas, tergantung apakah ia merasakan keadilan atau tidak atas suatu situasi. Perasaan equity atas situasi diperoleh dengan cara membandingkan dengan orang lain setingkat dalam satu organisasi ataupun di tempat lain. Menurut teori ini elemen-elemen dari teori equity meliputi:
1.      Input, yaitu semua sumber daya individu yang diberikan kepada organisasi, meliputi pendidikan, pengalaman, ketrampilan, dll.
2.      Outcomes, yaitu segala sesuatu yang diterima individu sebagai imbalan dari organisasi, seperti gaji, tunjangan, simbol, status, pengakuan, dll.
3.      Comparison person, yaitu orang lain baik dalam satu organisasi atau di luar organisasi yang dijadikan bandingan.
            Seorang karyawan akan membandingkan rasio outcomes/input dirinya, dengan hasil outcomes/input orang lain. Scholl (1981) mengutip Adam (1963) menyatakan bahwa karyawan akan merasa puas, jika perbandingan outcomes/input seimbang atau adil (equity). Lebih lanjut, seseorang akan terus bertahan dalam organisasi atau meneruskan tugas-tugasnya, jika dia menilai ada keadilan atau kepuasan. Sebaliknya jika terjadi ketidakadilan, menurut teori equity (Scholl, 1981; Leonard, et al, 1999),  maka kemungkinan reaksi adalah:
1.      Karyawan mengevaluasi persepsinya terhadap input ataupun outcome, misal karyawan menurunkan persepsi terhadap kontribusinya atau menaikkan persepsi terhadap reward.
2.      Karyawan secara nyata merubah input, misal mengurangi kontribusinya  pada organisasi, atau karyawan meminta tambahan outcome (kenaikan gaji).
3.      Karyawan keluar dari organisasi.

2.2.1.3. Pendekatan Pengukuran Motivasi Kerja
Kanfer (1999) menyajikan framework dalam pengukuran motivasi kerja. Menurut Kanfer, ada dua pendekatan yang umum digunakan dalam pengukuran motivasi kerja, yaitu (1) pendekatan fungsional dan (2) pendekatan heuristik yang keduanya saling melengkapi dan terkait. Kedua pendekatan tersebut memandang motivasi kerja sebagai suatu proses (motivational process). Pandangan ini, akan mengarahkan peneliti dalam mengoperasionalisasikan konstruk motivasi kerja.

2.2.1.3.1. Pendekatan Fungsional
Motivasi menurut pendekatan ini, dimaknai sebagai “an unobservable set of psychological processes” (Kanfer, 1999). Oleh karena itu, studi motivasi hanya mengukur determinan dan konsekuensinya saja, tetapi tidak mengukur motivasi itu sendiri. Menurut pendekatan ini, pengukuran terhadap motivasi pada konteks tertentu, tergantung dari konseptualisasi problem yang umumnya berbasis pada teori motivasi tertentu yang sesuai. Padahal tidak ada satu teori motivasi yang dapat menjelaskan perilaku secara lengkap (Kanfer, 1999).
Masing-masing teori motivasi menentukan determinan dan konsekuensi yang beragam, sehingga ketepatan pemilihan kerangka teoritis tergantung dari hasil analisis fungsional untuk situasi tertentu. Oleh karena itu, peneliti harus melakukan: (1) mengevaluasi karakteristik personal individu, tugas, lingkungan yang berinteraksi dalam mempengaruhi perilaku, sikap, dan afeksi; (2) menjelaskan bagaimana motivasi berkaitan dengan aspek-aspek perilaku karyawan dan prestasi kerja yang berbeda.
Pendekatan fungsional menggarisbawahi bahwa masalah kritis dari pengukuran motivasi adalah identifikasi determinan dan konsekuensi motivasi sesuai konteksnya. Dalam praktek identifikasi tersebut dilakukan melalui analisis fungsional peneliti sambil berkonsultasi dengan manajemen. Hasil analisis fungsional ini digunakan untuk memilih kerangka teoritis tertentu yang dijadikan pedoman dalam pengukuran. Pengukuran tersebut sesungguhnya tidak mengukur motivasi itu sendiri, melainkan mengukur determinan dan konsekuensi. Namun demikian, pendekatan fungsional bermanfaat dalam menentukan determinan dan konsekuensi motivasi yang relevan.

2.2.1.3.2. Pendekatan Heuristik
Kanfer (1987 & 1999) mengembangkan model heuristik untuk  mengopersionalisasikan motivasi kerja. Model ini menyarankan dua tahap dalam mengukur motivasi kerja. Hal ini dilandasi pemahaman bahwa “Worker motivation is best represented as a process involving two interrelated psychological systems: goal choice and goal striving” (Kanfer, 1999).
1.      Tahap 1: Goal choice
Goal choice berkaitan minat (intention) untuk memilih tindakan dan atau tujuan. Konsep dasar goal choice adalah seseorang bersedia melaksanakan tugas-tugas organisasi, jika ada kesesesuaian (congruence) tujuan individu dengan tujuan organisasi. Pada kasus tugas atau pekerjaan yang relatif mudah dilakukan, komponen goal choice ini analog dengan 3 fungsi subyektif seseorang, yaitu effort-utility, performance-utility, dan effort-performance.
2.      Tahap 2: Goal striving
Menurut Kanfer (1999), beberapa penelitian telah membuktikan kekuatan prediksi dari ketiga fungsi subyektif terhadap motivasi kerja, seperti lama jam kerja, intensitas usaha, dan turnover. Akan tetapi, jika tugas-tugas bersifat kompleks dan atau memerlukan waktu yang lama, maka model goal choice tidak sepenuhnya memadai untuk menjelaskan perilaku. Pada karakteristik tugas demikian, model goal choice hanya relevan untuk dua fungsi subyektif:: effort-utility dan performance-utility. Diperlukan proses motivasi berikutnya untuk melaksanaka pekerjaan yang sulit atau kompleks, yaitu goal striving.
Goal striving berkaitan dengan serangkaian proses pengaturan diri (self-regulatory) yang diperlukan seseorang untuk menerima tugas-tugas yang sulit. Proses pengaturan diri meliputi self-monitoring, self-evaluating, dan self-reaction, yang memungkinkan seseorang tetap berusaha mencurahkan waktu, pikiran, tenaga, dan kapasitas pribadi untuk menyelesaikan tugas, dalam kondisi ketiadaan supervisi dan atau ketika menghadapi banyak kesulitan. Beberapa variabel yang mempengaruhi goal striving meliputi kepercayaan diri, ketrampilan memotivasi diri, dan kerja tim (Kanfer, 1999).
Berdasarkan perspektif dua tahap dalam proses motivasi, Kanfer (1999) membagi dua komponen pengukuran motivasi, yaitu:
1.       Komponen “will do”, berkaitan dengan kesediaan (willingness) individu menerima tujuan/target yang ditetapkan organisasi. Komponen ini mengukur aspek goal choice yang sinomim dengan dua fungsi subyektif effort-utility dan performance-utility.
2.       Komponen “can do”, berkaitan dengan kompetensi atau kemampuan individu dalam mempertahankan dan meneguhkan tindakannya sepanjang waktu untuk mencapai tujuan (menyelesaikan tugas). Komponen ini mengukur aspek goal striving dan hanya relevan pada fungsi subyektif effort-performance.
Dikombinasikan dengan pendekatan fungsional, Kanfer mengidentifikasi variabel determinan dan konsekuensi motivasi. Tabel 2.2 berikut merangkum pengukuran variabel determinan dan konsekuensi motivasi kerja menurut Kanfer.
Tabel 2.1.

Rangkuman Determinan dan Konsekuensi Motivasi Kerja


Determinan

Konsekuensi
Komponen
Distal
Proximal
Komponen:
Will do

·   Kecenderungan kepribadian
·   Motiv
·   Nilai

·     Praktek manajemen
·     Budaya/norma organisasi
·     Sistem reward
·     Pengakuan
·     Kondisi kerja
Behavior: terkait lansung dengan Intensitas upaya. Secara umum menggunakan indikator kinerja: Kuantitas, Kualitas, Waktu, dan Frekuensi tindakan
Can do
·   Konsep diri
·   Kepercayaan diri
·   Self-efficacy
·   Self-regulatory
·   Orientasi kerja
·     Lingkungan kerja: (peralatan, teknologi)
Affective: evaluasi emosional. Secara umum mengacu konstruk kepuasan kerja. Indikatornya: Imbalan finansial, Kesempatan promosi, Rekan kerja, Supervisi, dan Kondisi kerja.



Cognitive: keyakinan/keterikatan pada pekerjaan. Secara umum menggunakan konstruk komitmen organisasional. Indikatornya meliputi: Job alienation, Job involvement , dan Job moral
Sumber: Dirangkum dari Kanfer (1999), http://www.phrproject.com

Distal adalah variabel yang bersumber dari perbedaan karakteristik individu. Disebut juga sebagai variabel disposisional (watak/ciri). Proximal adalah variabel yang bersumber dari intervensi organisasi, dan relatif dapat dimanipulasi.
Informasi penting dari Tabel 2.2 di atas bahwa adanya framework anteseden dan konsekuensi dari proses motivasi. Disebutkan bahwa konsekuensi motivasi meliputi aspek perilaku, afeksi dan kognisi. Aspek perilaku adalah kinerja.  Aspek afeksi adalah kepuasan kerja, dan aspek kognisi adalah komitmen.

Berdasarkan uraian bagaimana proses motivasi berlangsung, apa yang menjadi determinan, konsekuensinya, maka jika dilihat dari perspektif proses pembelajaran dalam organisasi (organizational learning), proses tersebut akan membentuk suatu siklus. Perspektif organizational learning ini akan memberikan pemahaman komprehensif dalam melihat proses motivasi kerja dalam organisasi. Gambar 2.2 berikut mengilustrasikan siklus proses motivasi.
Gambar 2.2.
Model Holistik Siklus Motivasi – Kepuasan dalam Perspektif Organizational Learning

Sumber: Organizational Design Consultants, 2000, Motivation and Rewards: A Holistic Modelhttp://www.odc.com

            Gambar 2.2 di atas sepenuhnya menggunakan perspektif transaksional. Dua teori yang dijadikan landasan adalah teori expectancy dan teori equity. Penjelasan dari Gambar 2.2 adalah sebagai berikut:

1.      Jalur ke effort (upaya)
     Konstruk upaya (effort) digunakan mengukur kekuatan motivasi. Upaya merupakan fungsi dari motif, persersi reward, dan harapan (expectancy). Jalur sampai ke effort tersebut sinonim dengan teori expectancy dan tiga fungsi subyektif individu. Motif adalah apa yang mendorong seseorang berperilaku, yaitu kebutuhan. Oleh karena itu, motif sinonim dengan valensi.
2.    Jalur ke kinerja
Kinerja merupakan fungsi dari effort (kekuatan motivasi), ketrampilan dan kecakapan, dan kejelasan tugas. Tampak bahwa hanya salah satu faktor saja yang mempengaruhi kinerja.
3.    Jalur ke kepuasan
Kepuasan merupakan penjumlahan (agregatif) dari imbalan intrinsik dan imbalan ekstrinsik, sesuai tingkat kinerja. Ini merupakan evaluasi menyeluruh karyawan terhadap aspek-aspek kerja. Kepuasan terjadi jika dinilai ada keseuaian antara apa yang diberikan dengan apa karyawan (imbalan), seperti dijelaskan dalam teori equity.
4.    Siklus berikutnya
Proses tidak berhenti sampai kepuasan saja. Hasil evaluasi karyawan dalam bentuk kepuasan kerja, akan mempengaruhi proses berikutnya, yaitu penilaian terhadap motif, persepsi reward, dan expectancy, yang berikutnya akan mempengaruhi effort (kekuatan motivasi). Tampak kepuasan tidak terkait langsung dengan kinerja, tetapi melalui tahapan motivasi terlebih dahulu. Ini menunjukkan proses berlajar individu dalam organisasi atau organisasi sendiri. Proses akan berhenti jika seseorang keluar dari organisasi.
2.2.1.4. Kritik terhadap Teori Motivasi Berbasis Perspektif Transaksional
            Telaah terhadap semua teori motivasi, disimpulkan tidak ada satupun teori motivasi yang dapat menjelaskan perilaku individu secara lengkap (Kanfer, 1999; Gibson, et al, 1996, Scholl, 2002; Leonard, et al, 1995; Davis dan Newstrom, 1989). Demikian pula terhadap teori motivasi berbasis perspektif transaksional, yang mendasarkan asumsi bahwa individu bersedia bergabung, menjalankan suatu tugas, atau memberikan kontribusi  kepada organisasi dengan tujuan memperoleh reaward (Scholl, 1981) atau ada kesesuaian antara tujuan organisasi dengan  tujuan individu (Kanfer, 1999).
Berdasarkan asumsi perspektif transaksional, maka dapat diprediksi seseorang akan terus melanjutkan hubungan, terlibat pertukaran dengan organisasi, dalam arti spesifik terus mengerjakan tugas-tugas organisasi, jika dia mempersepsikan adanya equitable reward atau puas. Kondisi demikian, secara konsepsual akan tercapai jika terpenuhi tiga kondisi (Scholl, 1981):
1.      Adanya kepuasan yang konstan terhadap reward
2.      Individu mempertahankan valensi yang tinggi atau kebutuhannya stabil.
3.      Secara kontinyu expectancy tercapai.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat diprediksi bahwa individu akan menghentikan pelaksanaan tugas-tugasnya atau keluar dari organisasi, jika expectancy tidak tercapai atau nilai dari imbalan (valensi) secara substansial sangat rendah. Betulkah demikian?
Beberapa studi empiris, seperti diuraikan pada Bab 1, telah menguraikan keterbatasan perspektif transaksional dalam motivasi kerja. Lebih lanjut, beberapa kritik yang diajukan kepada perspektif transaksional adalah sebagai berikut:
1.      Tidak relevan untuk semua situasi (Davis dan Newstrom, 1989), untuk pekerjaan yang kompleks, sulit dan memerlukan waktu lama (Kanfer, 1999).
2.      Tidak memberikan penjelasan motif-motif yang bersumber dari bawah sadar (Davis dan Newstrom, 1989), yang terkait dengan motivasi instriksik.
3.      Asumsi individu memaksimalkan reward, hanya menekankan hedonistik, yaitu memaksimalkan kebutuhan material (Davis dan Newstrom, 1989).
4.      Harapan (expectancy) tidak relevan bagi individu yang memeliki keyakinan dan komitmen tinggi untuk berprestasi (Davis dan Newstrom, 1989).
5.      Keterbatasan dalam menjelaskan konsistensi dan stabilitas perilaku, misal keputusan individu tetap bertahan di organisasi, lebih spesifik tetap menjalankan tugas organisasi (Scholl, 1981 & 2002; Leonard, et al 1999).

2.2.2. Komitmen Organisasional
Komitmen organisasional merupakan sala satu bentuk sikap karyawan yang penting dalam organisasi. Robbins (2001:140) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai “suatu keadaan di mana karyawan memihak kepada organisasi tertentu dan tujuan-tujuannya, serta berniat memelihara keanggotaannya dalam organisasi itu.” Konsep ini berbeda dengan keterlibatan kerja (job involvement), yang membatasi pemihakan karyawan pada pekerjaan saja, komitmen organisasi berarti pemihakan pada organisasi yang memperkerjakaanya.
Ada dua aliran pemikiran dalam melihat komitmen organisasional, yaitu (1) aliran attitudinal atau disebut juga aliran rasional dan (2) aliran perilaku (behavioral) atau disebut juga aliran irrasional (Scholl, 1981; Brown dan Gaylor, 2002). Aliran attitudinal melihat komitmen sebagai behavioral intention (minat berperilaku), misal minat tetap bertahan di organisasi dan minat berupaya lebih giat. Menurut aliran attitudinal, anteseden komitmen adalah pengalaman kerja positif sebelumnya, karakteristik personal, dan karakteristik pekerjaan, sedangkan konsekuensinya adalah peningkatan kinerja, reduksi absensi dan turnover. Adapun aliran behavioral melihat komitmen sebagai kekuatan yang memperkuat keikatan (tying) seseorang terhadap organisasi tertentu. Menurut aliran ini konsekuensi komitmen adalah keputusan tetap bertahan di organisasi.
Sehubungan dengan perbedaan pendekatan dalam melihat komitmen organisasi, maka definisi dan dimensi-dimensi komitmen yang diajukan beberapa peneliti organisasi dan ilmuwan sosial juga beragam. Oleh karena itu, komitmen organisasional merupakan konsep yang mengandung multidimensi konstruk (Brown dan Gaylor, 2002). Pandangan demikian dapat dilihat dari ringkasan definisi dan dimensi komitmen organisasi pada Tabel 2.3.  

Table 2.3.

Beberapa Definisi Komitmen Organisasional

Author (Year)
Construct
Definition
Becker (1960)
Commitment
(1) prior actions of a person staking some originally extraneous interest (i.e., side bet) on his following a consistent line of activity; (2) a recognition of this side bet; and (3) the resulting consistent behavior
Steers (1977)
Organizational
Commitment
The relative strength of an individual's identification with and involvement in a particular organization; (1) a strong belief in and acceptance of the organization's goals and values; (2) a willingness to exert considerable effort on behalf of the organization; and (3) a strong desire to maintain membership in the organization
Allen and Meyer
(1990)
Organizational
Commitment
- affective
- continuance
- normative
·       Affective commitment is characterized as an emotional or psychological attachment to the organization.
·       Continuance commitment is defined as a need to stay with the organization because one has accumulated too many investments and leaving would therefore be very costly.
·       Normative commitment is characterized by the employee’s belief that he or she is obligated to stay with a particular organization because of personal loyalty and/or allegiance.”
Scholl (1981)
Organizational
Commitment
A stabilizing force that acts to maintain behavioral direction when expectancy/equity conditions are not met and do not function.

Sumber: LaMastro (2003), Scholl (1981), Brown dan Gaylor (2002).

Berkaitan keterbatasan teori motivasi berbasis perspektif transaksional dalam menjelaskan konsistensi dan stabilitas arah perilaku, Scholl (1981) mengajukan konstruk komitmen organisasional sebagai salah satu faktor yang dapat menjelaskan keterbatasan tersebut. Menurut Scholl (1981), konsep komitmen organisasional, akan memberikan manfaat analitis, jika konsep tersebut dipandang berbeda dengan motivasi transaksional. Kedua konsep tersebut perlu dipandang sebagai dua variabel independen yang dapat mempengaruhi konsistensi dan stabilitas pilihan perilaku, ketika apa yang diharapkan (expectancy) individu dalam pekerjaan tidak tercapai.
Scholl (1981) mengidentifikai 4 faktor yang menjadi sumber komitmen karyawan pada organisasi, yaitu: investasi (investment), reciprocity (perasaan balas budi), lacks of alternatives (sedikit alternatif), dan identifikasi. Scholl (1981) mengajukan proposisi berbeda untuk ekspektansi dengan komitmen, yaitu:
1.    “Expectancy proposition: The propensity to remain in a particular organization increases as the individual's perceived probability of continued equitable rewards associated with continued membership increases.
2.    Commitment proposition: The propensity to remain in a particular organization increases as an individual's investment to that organization increases, the individual's debt to that organization increases, alternative opportunities become blocked through the acquisition of skills specific to that organization, and the individual's social identity becomes tied to that organization.”

Penelitian ini antara lain dimaksudkan untuk menguji proposisi Scholl di atas. Betulkah bahwa karyawan Bea dan Cukai Kantor Tanjung Perak untuk tetap bertahan di organisasi karena dorongan motif imbalan dan juga komitmen terhadap organisasi.

2.2.2.1. Dimensi Komitmen Organisasional
Berkaitan dengan konstruk komitmen organisasional yang multidimensional menurut Allen dan Meyer (Brown dan Gaylor, 2002), dapat dijelaskan bahwa konstruk tersebut identik dengan faktor-faktor yang diidentifikasi Scholl (1981). Penjelasannya adalah sebagai berikut:
1.      Affective commitment.
Timbul karena individu merasa memiliki keterikatan emosional atau psikologis dengan organisasi. Dimensi ini sinonim dengan faktor identifikasi (Scholl, 1981) atau motivasi yang bersumber dari goal internalization (Leonard, et al, 1999). Menurut Scholl (1981), konstruk identifikasi sebagai sumber komitmen organisasional bermula dari studi Friedman dan Havighrust (1954), yang menemukan bahwa tempat kerja merupakan sumber dari sebagian besar status dan identitas kebanyakan orang. Semakin kuat kedekatan identitas seseorang dengan identitas sosialnya (orang dalam organisasi), maka semakin sulit identitas orang tersebut untuk berubah, dengan kata lain semakin sulit orang tersebut untuk keluar dari organisasi. Lebih spesifik, yaitu pada konteks kekuatan motivasi (effort), dapat dikatakan bahwa semakin kuat identifikasi seseorang dengan organisasi, maka semakin kuat motivasi orang tersebut dalam menjalankan tugas-tugas pekerjaan. 
2.      Continuance commitment
Dimensi ini diartikan sebagai kebutuhan untuk tetap bertahan dalam organisasi, karena pertimbangan bahwa seseorang sudah terlalu besar menginvestasikan sumber daya, kapasitas pribadi (pengetahuan dan ketrampilan) pada organisasi, sehingga sangat berisiko/mahal jika dia harus keluar dari organisasi. Dimensi continuance commitment ini sinonim dengan faktor investasi dan lack of alternatives menurut Scholl (1981).
Studi Becker (1960) seperti dikutip Scholl (1981) membuktikan proposisi bahwa semakin besar investasi seseorang dalam organisasi, semakin kuat orang tersebut mempertahankan mekanisme perilaku dan semakin lemah kecenderungan untuk keluar dari organisasi. Scholl (1981) menyebutkan studi lain juga membuktikan proposisi tersebut, seperti diuraikan pada Bab 1. Beberapa variabel yang digunakan untuk mengoperasionalisasikan konstruk investasi antara lain umur, pendidikan, masa jabatan (tenure). Faktor investasi ini akan memperkuat keterikatan seseorang pada organisasi, ketika apa yang diharapkan tidak memuaskan.
Blau (1967) seperti dikutip Scholl (1981), menyatakan bahwa investasi juga dapat dimaknai pada konteks alternatif untuk beralih. Pendapat Blau tersebut didukung Salancik (1977), bahwa semakin besar investasi seseorang pada organisasi, umumnya diikuti dengan pengalaman, pengetahuan, dan ketrampilan individu yang semakin spesifik, sehingga kecenderungan untuk pindah ke organisasi lain semakin berkurang, karena keahlian spesifik yang dimiliki sulit ditransfer ke pekerjaan lain atau organisasi lain.
3.      Normative commitment
Dimensi normative commitment ini berkaitan dengan keyakinan seseorang untuk bertanggung jawab secara moral bahwa dia harus loyal/setia kepada organisasi. Dimensi ini sinonim dengan faktor reciprocity (Scholl, 1981). Reciprocity (rasa balas budi) merupakan norma universal bahwa (1) seseorang selayaknya membantu orang lain yang pernah membantu, (2) seseorang tidak selayaknya mencelakakan orang lain yang pernah membantu (Scholl, 1981).
Pada konteks komitmen organisasional, dapat dijelaskan bahwa sudah selayaknya karyawan memberikan kontribusi di masa mendatang pada organisasi, karena dia telah memperoleh manfaat yang mungkin tidak dapat diperolehnya, jika dia bergabung dalam organisasi tersebut. Misal karyawan memperoleh kesempatan berkembang, pelatihan, peningkatan kesejahteraan, status, dll, sehingga sudah sepantasnya dia memberikan kontribusi pada organisasi di masa mendatang. Mekanisme demikian berbeda dengan investasi, yaitu bahwa seseorang memberikan kontribusi lebih dulu, dan memperoleh manfaat atas kontribusinya dari organisasi pada masa berikutnya.

2.2.2.2. Komitmen Organisasional sebagai Pendekatan dalam Manajemen Sumber Daya Manusia

Pemahaman komitmen organisasional memberikan potensi bagi organisasi dalam memilih pijakan strategis pengelolaan sumber daya manusia, yaitu berbasis komitmen. Sasaran strategi ini adalah meningkatkan komitmen karyawan, sehingga dapat dipercaya dalam menjalankan tugas-tugasnya yang konsisten dengan tujuan organisasi. Sasaran ini dapat tercapai dengan baik, jika ada internalisasi tujuan organisasi pada tujuan individu (Scholl, 2002). Pembentukan kesadaran bahwa tujuan organisasi terkait dengan tujuan individu, merupakan kunci strategi ini. Konsep strategi berbasis komitmen ini relevan dengan asumsi teori Y dan model kepemimpinan transformasional.
            Keuntungan strategi manajemen sumber daya manusia berbasis komitmen, adalah berpotensi meningkatkan extra role behavior (ERB) karyawan, yaitu perilaku inovatif dan spontan yang positif, tetapi di luar perilaku normal yang hanya berbasis perspektif transaksional semata. Contoh ERB meliputi:
1.      Kesadaran karyawan untuk menjaga kerja sama (kekompakkan) antar anggota atau unit organisasi.
2.      Melindungi kepentingan organisasi.
3.      Memberikan saran kreatif untuk perbaikan organisasi.
4.      Menambah tanggung jawab pribadi, selain tanggung jawab formal.
5.      Menambah pengetahuan atas inisiatif karyawan sendiri.
6.       Memberikan citra positif pada lingkungan luar, dll.
Penelitian empiris juga membuktikan bahwa praktek manajemen suportif dapat meningkatkan komitmen organisasional. Penelitian LaMastro (2003), membuktikan bahwa manajemen suportif memperkuat komitmen guru pada sekolah. Penelitian lain membuktikan bahwa kepuasan kerja berpengaruh positif terhadap komitmen (Testa, 2002). Ini menunjukkan bahwa komitmen organisasional dapat dikontrol oleh manajemen, selain dipengaruhi oleh perbedaan karakteristik personal karyawan.

2.2.3. Kinerja Karyawan
            Kinerja atau job performance didefinisikan sebagai "kesuksesan seseorang dalam melaksanakan pekerjaan,” atau "successfull role achievement" yang diperoleh seseorang dari perbuatan-perbuatannya“ (As’ad, (1996:46). Definisi ini menekankan kinerja sama dengan hasil kerja. Robbins (1996:650) mengajukan 3 kriteria kinerja seseorang, yaitu:
1.      Pertama adalah penyelesaian tugas, yaitu menilai hasil tugas karyawan dapat dilakukan pada suatu organisasi yang sudah menetapkan standar kinerja sesuai dengan jenis pekerjaan, yang dinilai berdasarkan periode waktu tertentu, seperti laporan harian, memenuhi tuntutan waktu, hasil kerja. Bila karyawan dapat mencapai standar yang ditentukan berarti hasil tugasnya baik.
2.    Kedua adalah perilaku, yaitu terkait dengan penilaian terhadap perilaku karyawan dalam melaksanakan pekerjaan. Kriteria lebih sulit, karena perilaku  individu dalam organisasi berinteraksi dengan individu lainnya. Beberapa indikator yang digunakan misalnya, kehadiran/absensi, ketaatan peraturan, kecekatan, kerja sama, yang diharapkan organisasi bahwa perilaku-perilaku tersebut mengarah pada pencapaian hasil kerja yang diharapkan.  
3.    Ketiga adalah ciri, yaitu terkait karakteristik personal, kebiasaan seseorang, sikap di tempat kerja. Misal sopan santun, ramah, penampilan yang rapi, dll.
            Berdasarkan Gambar 2.2 diketahui kinerja merupakan konsekuensi kekuatan motivasi (effort), lebih spesifik sebagai konsekuensi perilaku (Kanfer, 1999). Sementara dari pengukuran kinerja, dapat dilihat dari kriteria beragam. Pada penelitian ini kinerja dilihat dari kriteria hasil kerja, kriteria pertama dari Robbin atau mengacu dengan definisi As’ad (1996).
Pembatasan ini ditetapkan, dengan alasan (1) motivasi mengarahkan perilaku untuk mencapai tujuan, yaitu penyelesaian tugas-tugas sesuai harapan organisasi, yang dapat dilihat dari hasil akhir penyelesaian tugas, (2) kriteria kedua dan ketiga dari Robbin berpotensi menyebabkan kerancuan definisi, yaitu antara konstruk kekuatan motivasi (effort) dengan konstruk kinerja.

2.2.4. Kepuasan Kerja
Para ahli psikologi dan perilaku organisasi, memberikan definisi kepuasan kerja yang beragam. Davis dan Newstrom (2001:105) mendifinisikan kepuasan kerja sebagai perasaan senang atau tidak senang (favorable or unfavorable) seseorang berkenaan dengan pekerjaannya.

 
Robbins (2001:147) mendefiniskan kepuasan kerja adalah sikap seseorang secara umum terhadap pekerjaannya. 
Kepuasan kerja dapat juga diartikan sebagai seluruh pengaruh positif atau perasaan yang dimiliki seseorang terhadap pekerjaannya (Arnold dan Feldman, 1986:192). Hoppeck melihatnya sebagai penilaian dari pekerja yaitu seberapa jauh pekerjaan secara keseluruhan memuaskan kebutuhannya (As’ad, 1996:104). Rumusan lain dikemukan Wexley dan Yukl (1984:45), “Job  satisfaction  is  the  way  an  employee  fells  about  his  or her job.  It  is generalized  attitude  toward  the  job  based-on  evaluation of  different aspects of the job.“
Dari pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah merupakan variabel sikap (attitude), yang berkaitan dengan perasaan karyawan terhadap pekerjaannya. Oleh karena menggambarkan perasaan, maka mengacu komponen sikap, kepuasan kerja merupakan komponen afeksi. Sikap atau afeksi tersebut terbentuk sebagai hasil evaluasi terhadap pengalaman aspek-aspek pekerjaannnya. Lebih lanjut, karena kepuasan kerja merupakan afeksi, maka keberadaanya dapat mempengaruhi perilaku lebih lanjut, baik intensitas atau arahnya (pilihan-pilihan). Pada studi ini, kepuasan kerja diproposisikan berpengaruh terhadap komitmen organisasional.

2.2.4.1. Dimensi-dimensi Kepuasan Kerja
Para ilmuwan perilaku organisasi memberikan penjelasan yang beragam terhadap dimensi-dimensi atau faktor-faktor apa saja yang menentukan kepuasan kerja. Seperti pendapat Davis dan Newstrom (2001:104), yang menyatakan bahwa kepuasan menyangkut banyak dimensi, namun pada umumnya menyangkut dua aspek, yaitu kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri dan kepuasan terhadap lingkungan tugasnya (rekan kerja, kondisi kerja, penyelia dan organisasi). Pemilahan dimensi kepuasan kerja menjadi dua aspek tersebut, mengacu kepada dua kategori imbalan sebagai sumber mitivasi seseorang dalam bekerja, yaitu imbalan intrinsik dan imbalan ekstrinsik. 
            Pemahaman komprehensif terhadap dua kategori imbalan tersebut, mengacu pada pemahaman sumber-sumber motivasi (Leonard, et al, 1999). Imbalan intrinsik terkait dengan pemenuhan kebutuhan yang bersumber dari dalam seseorang terhadap obyek pekerjaan itu sendiri, tanpa adanya kontrol dari sumber eksternal. Herzbeg (Kast dan Rozenweigh, 1990:407) menyebutnya sebagai faktor satisfiers (pemuas). Indikator-indikator imbalan intrinsik meliputi: prestasi, pengakuan, ekspresi bakat, tantangan pekerjaan, tanggung jawab, dan kesempatan mengembangkan diri. Adapun imbalan ekstrinsik diperoleh karena adanya proses transaksional dengan pihak luar, sehingga ada faktor eksternal yang mengintervensi. Imbalan eksternal ini terkait dengan sumber motivasi instrumentalitas. Organisasi secara nyata memberikan imbalan kepada karyawannya, baik dalam bentuk materi (gaji, bonus, fasilitas transportasi, dll) ataupun non materi (status, kenyamanan kerja, dll). Evaluasi menyeluruh terhadap kedua jenis imbalan tersebut akan menghasilkan kepuasan kerja.
            Robbins (2001:149), menyatakan elemen-elemen kepuasan kerja yang lazim digunakan meliputi “tipe kerja, rekan sekerja, tunjangan, diperlakukan dengan hormat dan adil, keamanan kerja, peluang menyumbangkan gagasan, upah, pengakuan akan kinerja, dan kesempatan untuk maju”. Faktor-faktor tersebut diikhtisarkan dalam empat faktor, yaitu kerja yang secara mental menantang, imbalan yang pantas, kondisi kerja yang mendukung, dan rekan sekerja yang mendukung.
            Pendapat lain dikemukakan Kanfer (1999), yang menyebutkan ada lima dimensi kerja terpenting yang mewakili karakteristik kerja ada lima yaitu: 1) kerja itu sendiri, 2) pembayaran, 3) kesempatan promosi, 4) penyeliaan, dan 5) rekan kerja. Kelima dimensi tersebut menunjukan total job satisfaction. Pendapat Kanfer ini konsiten dengan Robbins (2001:149), hanya Kanfer memisahkan imbalan yang pantas menjadi dua dimensi yaitu pembayaran dan promosi. Berdasarkan penjelasan dari beragam ahli perilaku organisasi, sesungguhnya merujuk pada satu kesepakatan bahwa secara umum dimensi kepuasan mengadung dua aspek, yaitu tipe kerja sebagai representasi imbalan intrinsik dan dimensi-dimensi lainnya sebagai representasi imbalan ekstrinsik.


2.2.4.2. Pengukuran Kepuasan Kerja
            Pekerjaan menuntut interaksi dengan rekan sekerja dan atasan, mengikuti aturan dan kebijakan organisasi, memenuhi standar kinerja, hidup pada kondisi kerja yang sering kurang dari ideal, dan yang serupa. Ini berarti penilaian (assesment) seorang karyawan terhadap betapa puas atau tak puas akan pekerjaannya merupakan penjumlahan yang rumit dari sejumlah unsur pekerjaan yang diskrit (terbedakan dan terpisahkan satu sama lain).
            Ada dua pendekatan yang sering dipakai untuk mengukur tingkat kepuasan kerja seseorang. “Pendekatan yang pertama adalah suatu nilai global tunggal (single global rating) dan pendekatan yang kedua adalah skor penjumlahan (summation score) yang tersusun atas sejumlah aspek kerja“ (Robbins, 2001:149).
            Pendekatan nilai global tunggal (single global rating) tidak lebih dari meminta individu-individu untuk menjawab satu pertanyaan, yaitu menanyakan sebuah pertanyaan kepada individu yang ingin diukur kepuasannya. Pertanyaan tersebut contohnya, “jika semua hal dipertimbangkan, seberapa puas anda terhadap pekerjaan anda sekarang“. Responden akan menjawab dengan cara memilih dari lima pilihan yang tersedia, yaitu: sangat puas, memuaskan, kurang memuaskan, tidak puas, dan sangat tidak puas (Robbins, 2001:149).
              Sedangkan pendekatan dengan skor penjumlahan (summation score), mengenali elemen-elemen utama dalam suatu pekerjaan dan menanyakan perasaan karyawan mengenai masing-masing elemen. Elemen-elemen kepuasan kerja tersebut, dinilai masing-masing dengan suatu skala yang standar, kemudian dijumlahkan untuk mendapatkan nilai keseluruhan bagi kepuasan kerja. Menurut Robbins (2001:149), berdasarkan kedua pendekatan tersebut, pengukuran kepuasan kerja dengan menggunakan pendekatan skor penjumlahan, secara intuitif nampak bahwa menjumlahkan respon-respon terhadap sejumlah faktor pekerjaan akan mencapai evaluasi yang lebih akurat dari kepuasan kerja. Pengukuran kepuasan kerja menurut Davis dan Newstrom (1989:104), menyangkut banyak dimensi, namun pada umumnya menyangkut dua aspek, yaitu kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri dan kepuasan terhadap lingkungan tugasnya (rekan kerja, kondisi kerja, penyelia dan organisasi). Pengukuran kepuasan kerja terhadap dua aspek tersebut akan memberikan informasi kepuasan kerja secara menyeluruh seorang karyawan terhadap pekerjaannya. Pada penelitian ini, digunakan pendekatan summation score untuk mengetahui tingkat kepuasan kerja menyeluruh dari dimensi-dimensi kepuasan kerja, meliputi lima dimensi kepuasan kerja, yaitu sifat pekerjaan (kerja itu sendiri), pembayaran, promosi, penyelia, dan rekan kerja (Kanfer, 1999; Robbins, 2001).