2.2.1. Motivasi Kerja
Motivasi merupakan materi yang paling luas dibicarakan dalam
studi perilaku organisasi (Scholl, 2002). Konsekuensi tersebut, berkaitan
dengan kepentingan manajemen untuk menggerakkan dan mengarahkan perilaku
anggota organisasi dalam rangka mencapai keberhasilan organisasi. Meskipun
demikian, motivasi bukanlah topik
sederhana, karena sulitnya memahami dan memprediksi perilaku (Kast dan
Rozenweigh, 1990:389), sulitnya didefinisikan dan dianalisis (Gibson, et al,
1996:183), dan perbedaan asumsi dalam menjelaskan perilaku (Scholl, 2002).
Penjelasan Gibson, et al (1996:183) berikut menggambarkan perdebatan seputar
konsep motivasi:
“Terlepas dari kepentingannya yang
nyata, motivasi sulit untuk didefinisikan dan dianalisis. Dengan satu definisi,
motivasi berkaitan dengan (1) arah dari perilaku, (2) kekuatan tanggapan, yaitu
upaya pada saat seorang pekerja memilih suatu arah tindakan, dan (3) keteguhan
perilaku atau berapa lama seseorang terus menerus berperilaku tertentu.
Pandangan lain menyarankan bahwa analisis motivasi harus memusatkan diri pada
faktor-faktor yang membangkitkan dan mengarahkan aktivitas seseorang. Seorang
ahli teori menekankan aspek kelangsungan arah tujuan dari motivasi. Ahli teori
lain menyatakan bahwa motivasi berhubungan dengan bagaimana perilaku dimulai,
digiatkan, dipertahankan, diarahkan dan dihentikan, serta reaksi subyektif
macam apa yang ada pada saat semua ini terjadi.”
Berkaitan kesulitan dalam menganalisis
konsep motivasi, Gibson, et al (1996:184) konsep motivasi akan lebih mudah
diamati jika dilihat sebagai konsep yang digunakan untuk menjelaskan
perbedaan-perbedaan intensitas dalam perilaku (mengenai perilaku yang lebih
intens sebagai hasil dari tingkat motivasi yang lebih tinggi) dan juga untuk
menunjukkan arah tindakan. Pendapat senada dikemukakan Scholl (2002) bahwa motivasi adalah perilaku
spesifik yang berkaitan dengan tiga aspek, yaitu kekuatan/faktor yang (1)
mendorong timbulnya perilaku (energies
behavior), (2) mengarahkan perilaku (directs
behavior), dan (3) mempertahankan perilaku (sustains behavior). Penjelasan lebih rinci dari ketiga aspek motivasi
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Energies
behavior, Apakah yang mendorong timbulnya
perilaku, pola-pola perilaku, atau perubahan perilaku? Apakah yang menentukan
tingkat usaha/upaya (effort) dan
seberapa giat/keras seseorang bekerja? Aspek ini
berkaitan dengan apa yang memotivasi seseorang.
b. Directs behavior-
Apakah yang menentukan seseorang memilih perilaku tertentu? Aspek ini berkaitan
dengan pilihan berbagai alternatif perilaku.
c.
Sustains
behavior- Apakah yang menentukan seseorang mempertahankan pola
perilaku? Aspek ini terkait dengan seberapa besar
perilaku akan dipertahankan atau dihentikan.
Lebih lanjut Scholl (2002) menyatakan “motivation is behaviorally specific, that
is, it is more appropriate to think in terms of an individual's motivation to
excel in a particular job requirement or even to carry out a specific behavior
than it is to think about an individual's overall motivation.” Pendapat
Scholl ini, memberikan pemahaman bahwa dalam melihat motivasi, perlu ditekankan
pada perilaku tertentu diperlukan untuk melaksanakan suatu tugas, daripada
melihat motivasi seseorang secara menyeluruh.
Pendapat Kanfer (1999)
berikut dapat memperjelas penjelasan Scholl (2002) dan menjembatani perdebatan
dalam menganalisis konsep motivasi, seperti diidentifikasi Kast dan Rozenweigh
(1990:389) dan Gibson, et al (1996:183). Kanfer (1999) melihat konsep motivasi
dalam dua pengertian, yaitu motivasi dalam pengertian umum atau motivasi
manusia (human motivation) secara
umum dan motivasi kerja atau motivasi pada konteks pekerjaan. Pada konteks
umum, Kanfer (1999) merujuk Vroom (1964), mendefinisikan motivasi manusia sebagai proses psikologis yang
mempengaruhi arah, intensitas, dan keteguhan berbagai tindakan. Arah berkaitan
dengan pilihan tindakan, intensitas berkaitan dengan kekuatan tindakan, dan
keteguhan berkaitan dengan konsistensi tetap mempertahankan atau meneruskan
tindakan. Tindakan-tindakan tersebut tidak semata-mata berkaitan dengan
perbedaan kecakapan individual untuk memenuhi kuatnya dorongan kebutuhan yang
mendesak (saat ini), melainkan kebutuhan dalam arti luas yang ingin dicapai
individu mendatang. Pilihan profesi atau pekerjaan merupakan salah satu contoh
pengertian motivasi manusia secara luas.
Motivasi
kerja merupakan bagian motivasi manusia secara umum. Kanfer (1999)
mendefinisikan motivasi kerja sebagai proses psikologis yang berimplikasi
langsung terhadap perilaku individu pada konteks pekerjaan, yaitu perilaku-perilaku
yang mempengaruhi pencapaian tujuan (goals)
dan penyelesaian tugas-tugas (tasks) di tempat kerja. Apa yang
disebut tujuan adalah pencapaian hasil kerja atau penyelesaian pekerjaan sesuai
standar yang ditentukan organisasi.
Pada
konteks pekerjaan, motivasi menekankan pada faktor-faktor personal dan
situasional, yang telah dikembangkan teori motivasi, yang dinilai berdampak
penting terhadap pencapaian produktivitas dan keberhasilan organisasi. Oleh
karena itu, studi motivasi pada konteks ini, memfokuskan pada perilaku karyawan
dalam menunaikan tugas-tugas untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan
organisasi. Pada konteks pekerjaan tersebut, pencapaian tujuan dan tugas-tugas
yang diharapkan organisasi perlu dilihat dalam perspektif transaksional atau
pertukaran (Kanfer, 1999), yaitu adanya transfer nilai secara timbal balik
antara individu dengan organisasi, yang memungkinkan tercapainya tujuan
individu dan organisasi secara bersamaan melalui proses pertukaran tersebut.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1.
Motivasi
berkaitan dengan intensitas/kekuatan perilaku. Oleh karena itu, aspek perilaku
inilah yang menjadi fokus pengamatan dalam melakukan pengukuran motivasi, atau
dengan kata lain, jika kita ingin melihat perbedaan motivasi di antara para
karyawan, maka dapat dilihat dari intensitas perilaku.
2.
Motivasi mengarah pada pencapaian
tujuan. Hal ini berarti bahwa intensitas perilaku akan berpengaruh terhadap
pencapaian hasil atau prestasi.
3.
Sebagai perilaku spesifik, pemahaman
motivasi memerlukan konteks yang jelas, yaitu intensitas perilaku yang
diperlukan untuk melaksanakan tugas-tugas atau pekerjaan tertentu untuk
mencapai tujuan. Oleh karena itu, sebagai perilaku, ada faktor penyebab
(anteseden) dan akibat (konsekuensi) motivasi.
2.2.1.1. Klasifikasi Teori Motivasi
dan Sumber-sumber Motivasi
Teori-teori motivasi secara umum dapat dikelompokkan menjadi
dua, yaitu content theory (teori
isi), disebut juga teori kepuasan dan process
theory (teori proses) (Sashkin dan Morris, 1984:67; Gibson, et al,
1996:187-188). Pada intinya semua teori motivasi
berusaha menjelaskan perilaku individu dalam tiga aspek, yaitu bagaimana
perilaku digerakkan, diarahkan dan dipertahankan. Namun demikian, tidak ada
satu pun teori motivasi yang dapat menjelaskan perilaku individu secara
lengkap. Content theory menfokuskan
pada faktor-faktor dari dalam diri seseorang yang mendorong, mengarahkan,
mempertahankan dan menghentikan perilaku, sedangkan process theory berusaha menjelaskan dan menganalisis bagaimana
perilaku didorong, diarahkan, dipertahankan dan dihentikan (Gibson, et al,
1996:187-188).
Yang termasuk dalam kategori teori isi
adalah teori hierarki kebutuhan Maslow, teori kebutuhan ERG (existence, relatedness, and growth)
Alderfer, teori dua faktor Herzberg, dan teori prestasi McClelland (Gibson, et
al., 1996:189). Teori-teori tersebut disebut juga teori kebutuhan. Sedangkan
teori proses meliputi teori harapan, teori keadilan, teori penguatan/modifikasi
perilaku, dan teori penetapan tujuan (Gibson, et al, 1996:267).
Masing-masing teori motivasi, memiliki
seperangkat premis (asumsi) yang berbeda. Teori-teori isi didasarkan pada
premis bahwa kebutuhan yang belum terpuaskan (unsatisfied need) merupakan pendorong utama perilaku seseorang.
Oleh karena itu, teori isi disebut teori kebutuhan, karena kebutuhan merupakan
pendorong perilaku, meskipun masing-masing teori tersebut memberikan penjelasan
berbeda terhadap jenis-jenis kebutuhan. Namun demikian, secara konvergen
kebutuhan didefinisikan sebagai defesiensi (kondisi kekurangan) yang dialami
seseorang pada waktu tertentu (Gibson, et al, 1996:266).
Teori-teori proses mendasarkan pada
premis yang bervariasi. Teori harapan, teori keadilan dan teori penetapan
tujuan (goal setting) mendasarkan
pada asumsi bahwa perilaku individu merupakan fungsi dari keyakinan (beliefs), harapan, nilai, dan
faktor-faktor kognitif lainnya. Oleh karena itu, teori harapan dan teori
keadilan disebut juga sebagai teori kognitif. Teori penguatan dilandasi asumsi
bahwa perilaku dapat dikendalikan oleh konsekuensinya, bukan oleh kondisi
internal individu, seperti naluri, emosi, kebutuhan, atau sikap. Disadari tidak
ada satupun teori motivasi yang dapat menjelaskan perilaku individu secara
lengkap pada konteks pekerjaan. Akan tetapi telah terbukti bahwa teori-teori
tersebut dapat membantu praktek manajemen, terutama dalam menggerakkan karyawan
agar bekerja lebih baik dalam rangka mencapai keberhasilan organisasi.
Sebagaimana penjelasan sebelumnya,
kekuatan motivasi individu tercermin dari intensitas perilaku atau upaya dalam
melaksanakan tugas-tugas tertentu yang mengarah pada pencapaian tujuan. Sebagai
bentuk perilaku, berarti motivasi ada penyebabnya dan akibatnya. Penyebab
(anteseden) adalah faktor yang diidentifikasi mempengaruhi kekuatan motivasi,
sedangkan akibatnya (konsekuensi) mencerminkan hasil kekuatan motivasi.
Beberapa ahli melihat bahwa konsekuensi motivasi yang utama adalah kinerja. Artinya semakin kuat motivasi, maka kemungkinan kinerja
yang dihasilkan akan semakin baik. Namun demikian, motivasi bukanlah
satu-satunya faktor yang mempengaruhi kinerja (Gibson, et al., 1996:180). Hal
ini berkaitan dengan pentingnya motivasi.
Dalam mengidentifikasi faktor-faktor
yang mempengaruhi motivasi, maka dapat ditinjau dari apa yang menjadi sumber
motivasi itu sendiri. DeCharms (1968), dikutip Leonard, et al (1999) membagi
sumber motivasi menjadi dua, yaitu ekstrinsik (eksternal) dan intrinsik
(internal). Motivasi ekstrinsik adalah
kekuatan dari luar yang mendorong motivasi, sedangkan motivasi intrinsik
adalah pendorong motivasi ketika tidak ada kontrol/pengaruh dari faktor
eksternal. Leonard, et al (1999) mengutip sumber-sumber lain bahwa motivasi
intrinsik adalah perilaku untuk mengerjakan tugas yang menantang (Deci, 1975),
ekspresi diri (Katz dan Kahn, 1978), keterlibatan moral diri sebagai hasil dari
internalisasi nilai dan keterlibatan moral sosial sebagai hasil dari pengaruh
umpan balik kelompok referensi (Etzioni, 1975).
Sumber-sumber motivasi tersebut, telah
banyak dijelaskan dalam teori motivasi (teori isi dan teori proses). Penjelasan
tersebut menunjukkan bahwa perilaku seseorang terdorong baik oleh faktor
internal (dalam diri) atau faktor eksternal (lingkungan). Berbasis teori
motivasi yang sudah ada sebelumnya, Leonard, et al (1999) menyusun model
sumber-sumber motivasi (motivation
sources) yang terbagi dalam lima klasifikasi, yaitu: (1) instrumental motivation, (2) intrinsic
process motivation, (3) goal internalization, (4) internal self concept-based
motivation, dan (5) external self
concept-based motivation. Tabel 2.1 merangkum lima sumber motivasi dan
keterhubungannya dengan teori-teori motivasi sebelumnya.
Sumber:
Nancy H. Leonard, L.L. Beauvais, &
Richard W. Scholl, “Work
motivation: The incorporation of self based processes,” Human Relations, 52, 1999, pp. 969-998.
Penjelasan dari kelima sumber motivasi tersebut adalah
sebagai berikut:
1.
Instrumental motivation
Instrumental menjadi sumber
motivasi ketika seseorang yakin bahwa tindakan yang dijalankan akan
menghasilkan imbalan (outcome),
seperti bayaran, penghargaan, promosi, dll. Reward
dalam pengertian lebih luas adalah meliputi imbalan ekonomis, psikologis, dan
sosiologis (Davis
dan Newstrom (1989). Asumsi dasar dari sumber motivasi ini adalah bahwa
individu dan organisasi terikat dalam hubungan pertukaran (exchange relationship). Dua teori motivasi, teori expectancy dan teori equity dewasa ini dipahami sebagai teori
motivasi yang berbasis exchange
relationship.
2.
Intrinsic process motivation
Proses motivasi intrinsik terjadi
ketika individu hanya melakukan tindakan, karena senang melakukan (fun). Dengan kata lain, motivasi
bersumber dari pekerjaan sendiri. Tidak ada kontrol faktor eksternal dalam
tindakan tersebut.
3.
Goal internalization
Perilaku dimotivasi oleh
internalisasi tujuan, ketika individu menerima sikap dan perilaku, karena
konsep dirinya sesuai dengan sistem nilai yang ada (Kelman, 1958). Beberapa
peneliti menggunakan konstruk goal
internalization sebagai salah satu dimensi komitmen organisasional
(Leonard, et al, 1999).
4.
Internal self concept-based
Motivation
Konsep diri (self concept) menjadi sumber motivasi intrinsik, ketika perilaku
individu terutama diarahkan diri sendiri (inner-directed).
Internal self concept motivation merupakan
bentuk dari penetapan standar bagi diri orang tersebut, yang menjadi dasar
penentuan standar ideal seseorang bertindak. Individu cenderung menggunakan
ukuran yang tetap dalam menentukan standar, karena dia berusaha untuk menjadi
yang terbaik, dan memperkuat persepsi atas kompetensinya untuk meningkatkan kompetensi
berikutnya. Sumber motivasi ini identik
dengan kebutuhan berprestasi menurut teori McClelland.
5.
External self concept-based
motivation
Motivasi berbasis external self-concept, ketika perilaku
individu terutama terdorong oleh orang lain. Pada konteks ini, konsep diri
seseorang terbentuk dengan cara mengadopsi harapan peran (role) dari kelompok referensinya. Individu berusaha memenuhi
harapan kelompok referensinya dan memperoleh umpan balik/pengakuan yang sesuai.
Berikutnya, individu akan berperilaku yang dapat memuaskan anggota kelompok
referensinya, pertama untuk memperoleh pengakuan dan selanjutnya memperoleh
status. Sumber motivasi ini identik dengan kebutuhan berafiliasi dan kebutuhan
kekuasaan dari McClelland, serta kebutuhan keterlibatan sosial dari Etzioni.
Dari lima
klasifikasi sumber motivasi, dua diantaranya akan dikaji pada penelitian ini,
yaitu instrumentalitas dan goal
internalization. Goal internalization
merupakan salah satu indikator pengukuran komitmen organisasional. Berkaitan
dengan motivasi yang bersumber instrumentalitas (hubungan pertukaran).
2.2.1.2. Teori Motivasi Berbasis
Perspektif Transaksional
Scholl (1981) menyatakan perspektif transaksional digunakan
menjelaskan hubungan individu dengan organisasi, pertama kali dikembangkan oleh
Barnard (1938) dan dilanjutkan March dan Simon (1958). Menurut perspektif
transaksional, seseorang bersedia bergabung dan memberikan kontribusi pada
organisasi, karena dorongan untuk memperoleh reward (Scholl, 1981). Perspektif ini, pada masa berikutnya
mendominasi studi tentang motivasi kerja.
Penjelasan Davis dan Newstrom (1989:44) bahwa ketika
seseorang bergabung dengan organisasi secara otomatis terbentuk perjanjian
psikologis dan perjanjian ekonomis antara kedua pihak, mempertegas perspektif transaksional.
Perjanjian psikologis menetapkan syarat
keterlibatan psikologis masing-masing karyawan dengan sistem yang ada di
perusahaan. Karyawan setuju mencurahkan tenaga dan loyalitasnya pada kadar
tertentu, tetapi sebaliknya yang dituntut bukan hanya imbalan ekonomis,
melainkan juga terpenuhinya kebutuhan rasa aman, perlakuan wajar, hubungan baik
dengan sesama karyawan, dan dukungan untuk mencapai harapannya. Menurut Davis
dan Newstrom (1989:44), konsekuensi dari pelaksanaan perjanjian tersebut adalah:
1. Bagi karyawan, apabila harapan terpenuhi,
maka karyawan memiliki kepuasan kerja tinggi, prestasi tinggi, dan tetap
bertahan dalam perusahaan, sebaliknya jika harapan tidak terpenuhi, maka
kepuasan kerja rendah, prestasi rendah, dan mungkin mengundurkan diri.
2. Bagi perusahaan, jika harapan terpenuhi,
maka karyawan dipertahankan dan mungkin dipromosikan, sebaliknya jika harapan
tidak terpenuhi, maka dilakukan perbaikan, pendisiplinan, dan mungkin
memberhentikan karyawan.
Dua teori yang dikenal luas menggunakan
perspektif transaksional adalah teori harapan (expectancy theory) dari Vroom dan teori keadilan (equity theory) dari Adam (Kanfer, 1999;
Scholl, 1981 & 2002; Leonard, et al, 1999). Oleh karena itu, sesuai lingkup
penelitian telaah terhadap teori motivasi lebih rinci akan dibatasi pada dua
teori tersebut.
2.2.1.2.1. Teori Harapan (Expectancy Theory)
Teori
Expectancy atau teori harapan
dikembangkan oleh Vroom tahun 1964 (Scholl, 1981; Kanfer, 1999). Menurut Vroom,
performance atau prestasi (P)
seseorang merupakan fungsi dari motivasi (M) dengan ability (A). Secara matematis hubungan tersebut dapat dirumuskan
sebagai:
P = f (M x A)
di
mana: P = Performance atau prestasi
M = Motivasi
A = Ability atau kemampuan
Menurut
Vroom, alasan dari hubungan perkalian ini bahwa jika seseorang rendah pada
salah satu komponennya, maka prestasinya juga akan rendah. Oleh sebab itu untuk
berhasil dalam menjalankan tugas atau berprestasi tinggi, maka seseorang harus
memiliki kemampuan (ability) dan
motivasi yang tinggi. Tinggi rendahnya tingkat motivasi seseorang menurut Vroom
ditentukan oleh interaksi tiga komponen, yaitu expectancy, instrumentalitas, dan valensi. Gambar 2.1 berikut mengilustrasikan Model Teori
Harapan.
|
|
|
|
|
|
|
Motivational factors
Force directing specific
behavioral alternatives
|
=
|
Expectancy
Perceived probability that
effort will lead to good performance
|
x
|
Instrumentality
Perceived probability that
good performance will lead to desired outcomes
(rewards)
|
x
|
Valence
Value of expected outcomes to the individual
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Self-efficacy
Goal difficulty
Perceived control
|
|
Trust
Control
Policies
|
|
Values
Needs
Goals preference
|
|
|
|
|
|
|
|
Gambar 2.1.
Model Expectancy Theory
Expectancy
theory dapat membantu memahami bagaimana individu memutuskan
untuk memilih berbagai alternatif perilaku. Teori ini lebih tepat dikaitkan
dengan aspek arah (direction) dari
motivasi, yaitu berkaitan dengan pemilihan perilaku, yang sesuai dengan
pencapaian tujuan individu. Proposisi dari teori harapan adalah sebagai
berikut:
1.
Ketika dihadapkan berbagai
alternatif perilaku, individu akan memilih alternatif yang memiliki motivasi
terkuat (greatest motivation force).
2.
Motivation
force (MF) suatu perilaku, tindakan atau tugas adalah
fungsi dari persepsi individu terhadap tiga variabel, yaitu harapan (expectancy), intrumentalitas (I), dan
valence (V). Secara matematis dapat dirumuskan: MF= Expectancy x Instrumentality x Valance. Penjelasannya adalah:
a.
Expectancy (probabilitas E®P), yaitu keyakinan individu terhadap probalitas
dari usaha (effort=E) yang dilakukan
akan mencapai tujuan atau prestasi yang diharapkan (P). Keyakinan tersebut dipengaruhi
oleh:
1)
Self-efficacy (kepercayaan diri), yaitu keyakinan
seseorang bahwa terhadap kemampuannya (ability)
untuk melaksanakan tugas dengan berhasil. Apakah individu yakin bahwa
ketrampilan dan kompetensinya layak untuk menjalankan tugas dengan berhasil?
2)
Tingkat
kesulitan pencapaian tujuan/prestasi yang diharapkan. Jika individu menilai
bahwa tujuan tersebut sulit dicapai, maka motivasi akan rendah, karena expectancy juga rendah.
3)
Persepsi
individu dapat mengendalikan tujuan (perceived
control). Agar expectancy kuat,
individu harus yakin pada tingkat tertentu dapat mengendalikan tujuan. Jika tidak, maka expectancy akan rendah, sehingga
motivasi juga rendah. Contoh, dalam kasus penilaian kinerja karyawan, yang
digunakan basis imbalan, jika individu tidak memiliki akses dalam menentukan
peringkat kinerja, maka metode tersebut mungkin dapat merangsang karyawan
meningkatkan usahanya.
b. Instrumentality (probabilitas P®R): yaitu keyakinan
bahwa jika seseorang dapat mencapai kinerja (P) yang diharapkan akan memperoleh
reward (R) yang lebih baik. Reward dapat berupa kenaikan gaji,
bonus, promosi, penghargaan, dll. Jika reward
yang diperoleh sama untuk semua tingkat kinerja, maka instrumentalitas akan
rendah. Variabel-variabel
yang mempengaruhi instrumentalitas meliputi persepsi individu terhadap:
a) Kepercayaan
pada manajemen/pimpinan atas imbalan yang dijanjikan.
b) Kontrol,
yaitu ketika karyawan tidak percaya atau memiliki kepercayaan rendah pada
manajemen/pimpinan, karyawan yakin memiliki kekuatan untuk mendapatkan reward.
Semakin tinggi kekuatan kontrol karyawan, maka instrumentalitas semakin tinggi.
c) Kebijakan,
yaitu berkaitan dengan aturan formal (tertulis) dalam penentuan imbalan.
Semakin formal kebijakan penentuan imbalan, maka instrumentalitas semakin
tinggi.
c. Valance
(V(R)): seberapa
bernilai atau penting reward yang
akan diterima bagi individu. Variabel-variabel yang mempengaruhi valance
meliputi:
1)
Nilai, yaitu berkaitan dengan
besaran reward.
2)
Kebutuhan, yaitu mendesak tidaknya
kebutuhan yang dirasakan.
3)
Preferensi tujuan, yaitu berkaitan
dengan jenis tujuan atau kebutuhan yang sesuai dengan reward. Contoh jika seseorang menginginkan promosi, maka promosi
tersebut memiliki valensi yang kuat. Setiap orang mempunyai sasaran-sasaran
pribadi yang berbeda dari kinerja yang diberikan. Konsekuensi ini jelas akan
menghasilkan nilai (valence) yang
berbeda antar karyawan satu dengan yang lain.
Berdasarkan penjelasan teori harapan, tampak bahwa faktor
utama yang mendorong kekuatan motivasi adalah keyakinan individu, yaitu keyakinan
dapat mengerjakan tugas yang diharapkan, keyakinan memperoleh imbalan
(instrumentalitas), dan keyakinan imbalan yang diperoleh sesuai preferensinya.
ko Unsur keyakinan tersebut dijelaskan Scholl (2002) bahwa:
“E<SPAN
style="FONT-FAMILY: Georgia">xpectancy and
instrumentality are attitudes </SPAN><SPAN
style="COLOR: blue; FONT-FAMILY: Georgia"></SPAN><SPAN
style="FONT-FAMILY: Georgia">, or more specifically,
they are cognition.<SPAN
style="mso-spacerun: yes"> </SPAN>As such,
they represent an individual's </SPAN><SPAN
style="COLOR: red; FONT-FAMILY: Georgia">perception</SPAN><SPAN
style="FONT-FAMILY: Georgia"> of the likelihood that
effort will lead to performance and performance will lead to the desired
outcomes.<SPAN
style="mso-spacerun: yes"> </SPAN>These
perceptions represent the individual’s </SPAN><SPAN style="COLOR: blue; FONT-FAMILY:
Georgia">subjective reality</SPAN><SPAN style="FONT-FAMILY:
Georgia">, and may or may not bear close resemblance to
actual probabilities.<SPAN
style="mso-spacerun: yes"> </SPAN>These
perceptions are tempered by the individual's experiences (learning theory),
observations of others (social learning theory), and self-perceptions.</SPAN><SPAN
style="FONT-FAMILY: Rockwell"><o:p></o:p></SPAN>”
Berdasarkan penjelasan Scholl tersebut dapat diinterpetasi
bahwa expectancy dan instrumentalitas
merupakan kognisi, yang mencerminkan persepsi individu bahwa usaha yang
dilakukan akan menghasilkan kinerja, dan kinerja akan menghasilkan imbalan yang
diharapkan. Oleh karena itu, expectancy dan
instrumentalitas lebih mencerminkan keyakinan subyektif daripada probabilitas
nyata, yang terbentuk melalui pengalaman pribadi sebelumnya dan pengamatan
terhadap lingkungan, sebagai hasil proses pembelajaran.
Interpretasi teori harapan berlandaskan keyakinan subyektif,
dijelaskan pula oleh Kanfer (1999). Kanfer berpendapat bahwa dalam proses
pemilihan suatu tujuan (goal choice),
seseorang akan melakukan kalkulasi internal terlebih dahulu, terhadap tiga
fungsi subyektifnya (subjective functions)
yang saling terkait, yaitu: (1) fungsi upaya-utilitas (effort–utility function), (2) fungsi kinerja-utilitas (performance–utility function), dan (3)
fungsi upaya-kinerja (effort–performance
function). Penjelasannya adalah sebagai berikut:
1.
Effort–utility function, menjelaskan seberapa besar sumber daya (waktu dan
usaha) yang seharusnya dicurahkan untuk mencapai suatu manfaat atau nilai
imbalan sesuai dengan preferensinya. Fungsi ini identik dengan valensi. Fungsi
subyektif ini dipengaruhi oleh faktor personal karyawan, sosial dan budaya.
Misal preferensi dalam mencapai prestasi. Karyawan yang berorientasi prestasi
tinggi (high achievement), cenderung
berupaya lebih keras daripada sebaliknya. Motivasi karyawan terkuat terjadi
ketika upaya yang diperlukan untuk mencapai tujuan sesuai dengan tingkat upaya
yang dikeluarkan.
2.
Performance–utility function, menjelaskan hubungan antara berbagai tingkat pencapaian
tujuan (prestasi) dengan nilai imbalan yang akan diterima individu. Fungsi ini
dipengaruhi oleh kebijakan sistem imbalan organisasi. Fungsi ini identik dengan
instrumentalitas (P®R). Kanfer (1999) menegaskan bahwa fungsi performance–utility
mencerminkan persepsi karyawan
terhadap total imbalan meliputi imbalan intrinsik dan ekstrinsik yang akan
diterima.
3.
Effort–performance function, menjelaskan hubungan antara upaya dengan pencapaian
prestasi. Karakteristik tugas dan personalitas, misal tingkat kesulitan dan
kepercayaan diri karyawan berpengaruh terhadap fungsi ini. Effort–performance function identik dengan expectancy (P®R) menurut expectancy theory.
2.2.1.2.2. Teori Keadilan (Equity Theory)
Varian equity theory
yang paling luas dikaji adalah versi teori yang dikembangkan Adam. Prinsip
teori ini adalah bahwa orang akan merasa puas atau tidak puas, tergantung apakah
ia merasakan keadilan atau tidak atas suatu situasi. Perasaan equity atas situasi
diperoleh dengan cara membandingkan dengan orang lain setingkat dalam satu
organisasi ataupun di tempat lain. Menurut teori ini
elemen-elemen dari teori equity
meliputi:
1.
Input,
yaitu semua sumber daya individu yang diberikan kepada organisasi, meliputi
pendidikan, pengalaman, ketrampilan, dll.
2.
Outcomes,
yaitu segala sesuatu yang diterima individu sebagai imbalan dari organisasi,
seperti gaji, tunjangan, simbol, status, pengakuan, dll.
3.
Comparison
person, yaitu orang lain baik dalam satu organisasi atau di
luar organisasi yang dijadikan bandingan.
Seorang
karyawan akan membandingkan rasio outcomes/input
dirinya, dengan hasil outcomes/input
orang lain. Scholl (1981) mengutip Adam (1963) menyatakan bahwa karyawan akan
merasa puas, jika perbandingan outcomes/input
seimbang atau adil (equity). Lebih
lanjut, seseorang akan terus bertahan dalam organisasi atau meneruskan
tugas-tugasnya, jika dia menilai ada keadilan atau kepuasan. Sebaliknya jika
terjadi ketidakadilan, menurut teori equity
(Scholl, 1981; Leonard, et al, 1999),
maka kemungkinan reaksi adalah:
1.
Karyawan
mengevaluasi persepsinya terhadap input ataupun outcome, misal karyawan menurunkan persepsi terhadap kontribusinya
atau menaikkan persepsi terhadap reward.
2.
Karyawan
secara nyata merubah input, misal mengurangi kontribusinya pada organisasi, atau karyawan meminta
tambahan outcome (kenaikan gaji).
3.
Karyawan
keluar dari organisasi.
2.2.1.3. Pendekatan Pengukuran Motivasi
Kerja
Kanfer (1999) menyajikan framework
dalam pengukuran motivasi kerja. Menurut Kanfer, ada dua pendekatan yang
umum digunakan dalam pengukuran motivasi kerja, yaitu (1) pendekatan fungsional
dan (2) pendekatan heuristik yang keduanya saling melengkapi dan terkait. Kedua
pendekatan tersebut memandang motivasi kerja sebagai suatu proses (motivational process). Pandangan ini,
akan mengarahkan peneliti dalam mengoperasionalisasikan konstruk motivasi
kerja.
2.2.1.3.1. Pendekatan Fungsional
Motivasi menurut pendekatan ini,
dimaknai sebagai “an unobservable set of
psychological processes” (Kanfer, 1999). Oleh karena itu, studi motivasi
hanya mengukur determinan dan konsekuensinya saja, tetapi tidak mengukur
motivasi itu sendiri. Menurut pendekatan ini, pengukuran terhadap motivasi pada
konteks tertentu, tergantung dari konseptualisasi problem yang umumnya berbasis
pada teori motivasi tertentu yang sesuai. Padahal tidak ada satu teori motivasi yang dapat
menjelaskan perilaku secara lengkap (Kanfer, 1999).
Masing-masing
teori motivasi menentukan determinan dan konsekuensi yang beragam, sehingga
ketepatan pemilihan kerangka teoritis tergantung dari hasil analisis fungsional
untuk situasi tertentu. Oleh karena itu, peneliti harus melakukan: (1)
mengevaluasi karakteristik personal individu, tugas, lingkungan yang
berinteraksi dalam mempengaruhi perilaku, sikap, dan afeksi; (2) menjelaskan
bagaimana motivasi berkaitan dengan aspek-aspek perilaku karyawan dan prestasi
kerja yang berbeda.
Pendekatan
fungsional menggarisbawahi bahwa masalah kritis dari pengukuran motivasi adalah
identifikasi determinan dan konsekuensi motivasi sesuai konteksnya. Dalam
praktek identifikasi tersebut dilakukan melalui analisis fungsional peneliti
sambil berkonsultasi dengan manajemen. Hasil analisis fungsional ini digunakan
untuk memilih kerangka teoritis tertentu yang dijadikan pedoman dalam
pengukuran. Pengukuran tersebut sesungguhnya tidak mengukur motivasi itu
sendiri, melainkan mengukur determinan dan konsekuensi. Namun demikian, pendekatan
fungsional bermanfaat dalam menentukan determinan dan konsekuensi motivasi yang
relevan.
2.2.1.3.2. Pendekatan Heuristik
Kanfer (1987 & 1999) mengembangkan model heuristik
untuk mengopersionalisasikan motivasi
kerja. Model ini menyarankan dua tahap dalam mengukur motivasi kerja. Hal ini
dilandasi pemahaman bahwa “Worker motivation is best represented as a
process involving two interrelated psychological systems: goal choice and goal
striving” (Kanfer, 1999).
1.
Tahap 1: Goal choice
Goal choice berkaitan minat (intention) untuk
memilih tindakan dan atau tujuan. Konsep dasar goal choice adalah seseorang bersedia melaksanakan tugas-tugas
organisasi, jika ada kesesesuaian (congruence)
tujuan individu dengan tujuan organisasi. Pada kasus tugas atau pekerjaan
yang relatif mudah dilakukan, komponen goal
choice ini analog dengan 3 fungsi subyektif seseorang, yaitu effort-utility, performance-utility, dan
effort-performance.
2.
Tahap 2: Goal striving
Menurut Kanfer (1999), beberapa
penelitian telah membuktikan kekuatan prediksi dari ketiga fungsi subyektif
terhadap motivasi kerja, seperti lama jam kerja, intensitas usaha, dan turnover. Akan tetapi, jika tugas-tugas
bersifat kompleks dan atau memerlukan waktu yang lama, maka model goal choice tidak sepenuhnya memadai
untuk menjelaskan perilaku. Pada karakteristik tugas demikian, model goal choice hanya relevan untuk dua
fungsi subyektif:: effort-utility dan
performance-utility. Diperlukan
proses motivasi berikutnya untuk melaksanaka pekerjaan yang sulit atau kompleks,
yaitu goal striving.
Goal striving berkaitan dengan serangkaian proses pengaturan diri (self-regulatory) yang diperlukan seseorang untuk menerima
tugas-tugas yang sulit. Proses pengaturan diri meliputi self-monitoring, self-evaluating, dan self-reaction, yang memungkinkan seseorang tetap berusaha
mencurahkan waktu, pikiran, tenaga, dan kapasitas pribadi untuk menyelesaikan
tugas, dalam kondisi ketiadaan supervisi dan atau ketika menghadapi banyak
kesulitan. Beberapa variabel yang mempengaruhi goal striving meliputi kepercayaan diri, ketrampilan memotivasi
diri, dan kerja tim (Kanfer, 1999).
Berdasarkan perspektif dua tahap dalam
proses motivasi, Kanfer (1999) membagi dua komponen pengukuran motivasi, yaitu:
1.
Komponen
“will do”, berkaitan dengan kesediaan
(willingness) individu menerima
tujuan/target yang ditetapkan organisasi. Komponen ini mengukur aspek goal choice yang sinomim dengan dua
fungsi subyektif effort-utility dan performance-utility.
2.
Komponen
“can do”, berkaitan dengan kompetensi
atau kemampuan individu dalam mempertahankan dan meneguhkan tindakannya
sepanjang waktu untuk mencapai tujuan (menyelesaikan tugas). Komponen ini
mengukur aspek goal striving dan
hanya relevan pada fungsi subyektif effort-performance.
Dikombinasikan dengan pendekatan fungsional, Kanfer
mengidentifikasi variabel determinan dan konsekuensi motivasi. Tabel 2.2
berikut merangkum pengukuran variabel determinan dan konsekuensi motivasi kerja
menurut Kanfer.
Tabel
2.1.
Rangkuman Determinan dan
Konsekuensi Motivasi Kerja
|
Determinan
|
|
Konsekuensi
|
Komponen
|
Distal
|
Proximal
|
Komponen:
|
Will
do
|
·
Kecenderungan kepribadian
·
Motiv
·
Nilai
|
·
Praktek manajemen
·
Budaya/norma organisasi
·
Sistem reward
·
Pengakuan
·
Kondisi kerja
|
Behavior: terkait lansung dengan Intensitas upaya. Secara umum menggunakan
indikator kinerja: Kuantitas, Kualitas, Waktu, dan Frekuensi tindakan
|
Can
do
|
·
Konsep diri
·
Kepercayaan diri
·
Self-efficacy
·
Self-regulatory
·
Orientasi kerja
|
·
Lingkungan kerja: (peralatan, teknologi)
|
Affective: evaluasi emosional. Secara umum mengacu
konstruk kepuasan kerja. Indikatornya: Imbalan finansial, Kesempatan promosi,
Rekan kerja, Supervisi, dan Kondisi kerja.
|
|
|
|
Cognitive:
keyakinan/keterikatan pada pekerjaan. Secara
umum menggunakan konstruk komitmen organisasional. Indikatornya meliputi: Job
alienation, Job involvement , dan Job moral
|
Distal adalah variabel yang bersumber dari perbedaan
karakteristik individu. Disebut juga sebagai variabel disposisional
(watak/ciri). Proximal adalah
variabel yang bersumber dari intervensi organisasi, dan relatif dapat
dimanipulasi.
Informasi penting dari Tabel 2.2 di atas
bahwa adanya framework anteseden dan
konsekuensi dari proses motivasi. Disebutkan bahwa konsekuensi motivasi
meliputi aspek perilaku, afeksi dan kognisi. Aspek perilaku adalah
kinerja. Aspek afeksi adalah kepuasan
kerja, dan aspek kognisi adalah komitmen.
Berdasarkan uraian bagaimana proses motivasi
berlangsung, apa yang menjadi determinan, konsekuensinya, maka jika dilihat
dari perspektif proses pembelajaran dalam organisasi (organizational learning),
proses tersebut akan membentuk suatu siklus. Perspektif organizational learning ini akan memberikan pemahaman komprehensif
dalam melihat proses motivasi kerja dalam organisasi. Gambar 2.2 berikut
mengilustrasikan siklus proses motivasi.
Gambar
2.2.
Model Holistik Siklus Motivasi – Kepuasan dalam
Perspektif Organizational Learning
Sumber: Organizational Design Consultants, 2000, Motivation and Rewards: A Holistic Model, http://www.odc.com
Gambar 2.2 di atas sepenuhnya menggunakan perspektif
transaksional. Dua teori yang dijadikan landasan adalah teori expectancy dan teori equity. Penjelasan dari Gambar 2.2
adalah sebagai berikut:
1.
Jalur ke effort (upaya)
Konstruk upaya (effort) digunakan mengukur kekuatan motivasi. Upaya merupakan
fungsi dari motif, persersi reward,
dan harapan (expectancy). Jalur
sampai ke effort tersebut sinonim dengan teori expectancy dan tiga fungsi subyektif individu. Motif adalah apa
yang mendorong seseorang berperilaku, yaitu kebutuhan. Oleh karena itu, motif
sinonim dengan valensi.
2.
Jalur ke kinerja
Kinerja merupakan fungsi dari effort (kekuatan motivasi), ketrampilan dan kecakapan, dan
kejelasan tugas. Tampak bahwa hanya salah satu faktor saja yang mempengaruhi
kinerja.
3.
Jalur ke kepuasan
Kepuasan merupakan penjumlahan (agregatif) dari
imbalan intrinsik dan imbalan ekstrinsik, sesuai tingkat kinerja. Ini merupakan
evaluasi menyeluruh karyawan terhadap aspek-aspek kerja. Kepuasan terjadi jika
dinilai ada keseuaian antara apa yang diberikan dengan apa karyawan (imbalan),
seperti dijelaskan dalam teori equity.
4.
Siklus berikutnya
Proses tidak berhenti sampai
kepuasan saja. Hasil evaluasi karyawan dalam bentuk kepuasan kerja, akan
mempengaruhi proses berikutnya, yaitu penilaian terhadap motif, persepsi reward, dan expectancy, yang berikutnya akan mempengaruhi effort (kekuatan motivasi). Tampak kepuasan tidak terkait langsung
dengan kinerja, tetapi melalui tahapan motivasi terlebih dahulu. Ini
menunjukkan proses berlajar individu dalam organisasi atau organisasi sendiri.
Proses akan berhenti jika seseorang keluar dari organisasi.
2.2.1.4. Kritik terhadap Teori
Motivasi Berbasis Perspektif Transaksional
Telaah terhadap semua teori
motivasi, disimpulkan tidak ada satupun teori motivasi yang dapat menjelaskan
perilaku individu secara lengkap (Kanfer, 1999; Gibson, et al, 1996, Scholl,
2002; Leonard, et al, 1995; Davis dan Newstrom, 1989). Demikian pula terhadap
teori motivasi berbasis perspektif transaksional, yang mendasarkan asumsi bahwa
individu bersedia bergabung, menjalankan suatu tugas, atau memberikan
kontribusi kepada organisasi dengan tujuan memperoleh
reaward (Scholl, 1981) atau ada
kesesuaian antara tujuan organisasi dengan
tujuan individu (Kanfer, 1999).
Berdasarkan asumsi perspektif transaksional, maka dapat
diprediksi seseorang akan terus melanjutkan hubungan, terlibat pertukaran
dengan organisasi, dalam arti spesifik terus mengerjakan tugas-tugas
organisasi, jika dia mempersepsikan adanya equitable
reward atau puas. Kondisi demikian, secara konsepsual akan tercapai jika
terpenuhi tiga kondisi (Scholl, 1981):
1.
Adanya kepuasan yang konstan
terhadap reward
2.
Individu mempertahankan valensi
yang tinggi atau kebutuhannya stabil.
3.
Secara kontinyu expectancy tercapai.
Berdasarkan
penjelasan tersebut, maka dapat diprediksi bahwa individu akan menghentikan
pelaksanaan tugas-tugasnya atau keluar dari organisasi, jika expectancy tidak tercapai atau nilai
dari imbalan (valensi) secara substansial sangat rendah. Betulkah demikian?
Beberapa studi empiris, seperti
diuraikan pada Bab 1, telah menguraikan keterbatasan perspektif transaksional
dalam motivasi kerja. Lebih lanjut, beberapa kritik yang diajukan kepada
perspektif transaksional adalah sebagai berikut:
1.
Tidak relevan
untuk semua situasi (Davis dan Newstrom, 1989), untuk pekerjaan yang kompleks,
sulit dan memerlukan waktu lama (Kanfer, 1999).
2.
Tidak
memberikan penjelasan motif-motif yang bersumber dari bawah sadar (Davis dan
Newstrom, 1989), yang terkait dengan motivasi instriksik.
3.
Asumsi
individu memaksimalkan reward, hanya
menekankan hedonistik, yaitu memaksimalkan kebutuhan material (Davis dan
Newstrom, 1989).
4.
Harapan (expectancy) tidak relevan bagi individu yang memeliki keyakinan dan
komitmen tinggi untuk berprestasi (Davis dan Newstrom, 1989).
5.
Keterbatasan dalam menjelaskan
konsistensi dan stabilitas perilaku, misal keputusan individu tetap bertahan di
organisasi, lebih spesifik tetap menjalankan tugas organisasi (Scholl, 1981
& 2002; Leonard, et al 1999).
2.2.2. Komitmen
Organisasional
Komitmen
organisasional merupakan sala satu bentuk sikap karyawan yang penting dalam
organisasi. Robbins (2001:140) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai
“suatu keadaan di mana karyawan memihak kepada organisasi tertentu dan
tujuan-tujuannya, serta berniat memelihara keanggotaannya dalam organisasi
itu.” Konsep ini berbeda dengan keterlibatan kerja (job involvement), yang membatasi pemihakan karyawan pada pekerjaan
saja, komitmen organisasi berarti pemihakan pada organisasi yang
memperkerjakaanya.
Ada dua aliran pemikiran dalam melihat komitmen organisasional, yaitu (1)
aliran attitudinal atau disebut juga
aliran rasional dan (2) aliran perilaku (behavioral)
atau disebut juga aliran irrasional (Scholl, 1981; Brown dan Gaylor, 2002). Aliran attitudinal melihat
komitmen sebagai behavioral intention (minat
berperilaku), misal minat tetap bertahan di organisasi dan minat berupaya lebih
giat. Menurut aliran attitudinal,
anteseden komitmen adalah pengalaman kerja positif sebelumnya, karakteristik
personal, dan karakteristik pekerjaan, sedangkan konsekuensinya adalah
peningkatan kinerja, reduksi absensi dan turnover.
Adapun aliran behavioral melihat
komitmen sebagai kekuatan yang memperkuat keikatan (tying) seseorang terhadap organisasi tertentu. Menurut aliran ini
konsekuensi komitmen adalah keputusan tetap bertahan di organisasi.
Sehubungan dengan perbedaan pendekatan dalam melihat komitmen organisasi,
maka definisi dan dimensi-dimensi komitmen yang diajukan beberapa peneliti
organisasi dan ilmuwan sosial juga beragam. Oleh karena itu, komitmen
organisasional merupakan konsep yang mengandung multidimensi konstruk (Brown
dan Gaylor, 2002). Pandangan demikian dapat dilihat dari ringkasan definisi dan
dimensi komitmen organisasi pada Tabel 2.3.
Table
2.3.
Beberapa
Definisi Komitmen Organisasional
Author (Year)
|
Construct
|
Definition
|
Becker (1960)
|
Commitment
|
(1) prior actions of a person staking some originally
extraneous interest (i.e., side bet) on his following a consistent line of
activity; (2) a recognition of this side bet; and (3) the resulting
consistent behavior
|
Steers (1977)
|
Organizational
Commitment
|
The relative strength of an individual's
identification with and involvement in a particular organization; (1) a
strong belief in and acceptance of the organization's goals and values; (2) a
willingness to exert considerable effort on behalf of the organization; and
(3) a strong desire to maintain membership in the organization
|
Allen and Meyer
(1990)
|
Organizational
Commitment
-
affective
-
continuance
-
normative
|
·
Affective
commitment is characterized as an emotional or psychological attachment to
the organization.
·
Continuance
commitment is defined as a need to stay with the organization because one has
accumulated too many investments and leaving would therefore be very costly.
·
Normative
commitment is characterized by the employee’s belief that he or she is
obligated to stay with a particular organization because of personal loyalty
and/or allegiance.”
|
Scholl (1981)
|
Organizational
Commitment
|
A
stabilizing force that acts to maintain behavioral direction when
expectancy/equity conditions are not met and do not function.
|
Sumber: LaMastro (2003), Scholl (1981),
Brown dan Gaylor (2002).
Berkaitan keterbatasan teori motivasi berbasis perspektif
transaksional dalam menjelaskan konsistensi dan stabilitas arah perilaku,
Scholl (1981) mengajukan konstruk komitmen organisasional sebagai salah satu faktor
yang dapat menjelaskan keterbatasan tersebut. Menurut Scholl (1981), konsep
komitmen organisasional, akan memberikan manfaat analitis, jika konsep tersebut
dipandang berbeda dengan motivasi transaksional. Kedua konsep tersebut perlu
dipandang sebagai dua variabel independen yang dapat mempengaruhi konsistensi
dan stabilitas pilihan perilaku, ketika apa yang diharapkan (expectancy) individu dalam pekerjaan
tidak tercapai.
Scholl (1981) mengidentifikai 4 faktor yang menjadi sumber
komitmen karyawan pada organisasi, yaitu: investasi (investment), reciprocity
(perasaan balas budi), lacks of
alternatives (sedikit alternatif), dan identifikasi. Scholl (1981)
mengajukan proposisi berbeda untuk ekspektansi dengan komitmen, yaitu:
1. “Expectancy
proposition: The propensity to
remain in a particular organization increases as the individual's perceived
probability of continued equitable rewards associated with continued membership
increases.
2. Commitment
proposition: The propensity
to remain in a particular organization increases as an individual's investment
to that organization increases, the individual's debt to that organization
increases, alternative opportunities become blocked through the acquisition of
skills specific to that organization, and the individual's social identity
becomes tied to that organization.”
Penelitian ini antara lain dimaksudkan untuk menguji
proposisi Scholl di atas. Betulkah bahwa karyawan Bea dan Cukai Kantor Tanjung
Perak untuk tetap bertahan di organisasi karena dorongan motif imbalan dan juga
komitmen terhadap organisasi.
2.2.2.1. Dimensi Komitmen
Organisasional
Berkaitan dengan konstruk komitmen organisasional yang
multidimensional menurut Allen dan Meyer (Brown dan Gaylor, 2002), dapat
dijelaskan bahwa konstruk tersebut identik dengan faktor-faktor yang
diidentifikasi Scholl (1981). Penjelasannya adalah sebagai berikut:
1.
Affective
commitment.
Timbul karena individu merasa memiliki keterikatan
emosional atau psikologis dengan organisasi. Dimensi ini sinonim dengan faktor
identifikasi (Scholl, 1981) atau motivasi yang bersumber dari goal internalization (Leonard, et al,
1999). Menurut Scholl (1981), konstruk identifikasi sebagai sumber komitmen
organisasional bermula dari studi Friedman dan Havighrust (1954), yang
menemukan bahwa tempat kerja merupakan sumber dari sebagian besar status dan
identitas kebanyakan orang. Semakin kuat kedekatan identitas seseorang dengan
identitas sosialnya (orang dalam organisasi), maka semakin sulit identitas
orang tersebut untuk berubah, dengan kata lain semakin sulit orang tersebut
untuk keluar dari organisasi. Lebih spesifik, yaitu pada konteks kekuatan
motivasi (effort), dapat dikatakan bahwa semakin kuat identifikasi seseorang
dengan organisasi, maka semakin kuat motivasi orang tersebut dalam menjalankan
tugas-tugas pekerjaan.
2.
Continuance
commitment
Dimensi ini diartikan sebagai kebutuhan untuk tetap
bertahan dalam organisasi, karena pertimbangan bahwa seseorang sudah terlalu
besar menginvestasikan sumber daya, kapasitas pribadi (pengetahuan dan ketrampilan)
pada organisasi, sehingga sangat berisiko/mahal jika dia harus keluar dari
organisasi. Dimensi continuance
commitment ini sinonim dengan faktor investasi dan lack of alternatives menurut Scholl (1981).
Studi Becker (1960) seperti dikutip Scholl (1981)
membuktikan proposisi bahwa semakin besar investasi seseorang dalam organisasi,
semakin kuat orang tersebut mempertahankan mekanisme perilaku dan semakin lemah
kecenderungan untuk keluar dari organisasi. Scholl (1981) menyebutkan studi lain juga membuktikan proposisi tersebut,
seperti diuraikan pada Bab 1. Beberapa variabel yang digunakan untuk
mengoperasionalisasikan konstruk investasi antara lain umur, pendidikan, masa
jabatan (tenure). Faktor investasi
ini akan memperkuat keterikatan seseorang pada organisasi, ketika apa yang
diharapkan tidak memuaskan.
Blau (1967) seperti dikutip
Scholl (1981), menyatakan bahwa investasi juga dapat dimaknai pada konteks
alternatif untuk beralih. Pendapat Blau tersebut didukung Salancik (1977),
bahwa semakin besar investasi seseorang pada organisasi, umumnya diikuti dengan
pengalaman, pengetahuan, dan ketrampilan individu yang semakin spesifik,
sehingga kecenderungan untuk pindah ke organisasi lain semakin berkurang,
karena keahlian spesifik yang dimiliki sulit ditransfer ke pekerjaan lain atau
organisasi lain.
3.
Normative
commitment
Dimensi normative
commitment ini berkaitan dengan keyakinan seseorang untuk bertanggung jawab
secara moral bahwa dia harus loyal/setia kepada organisasi. Dimensi ini sinonim
dengan faktor reciprocity (Scholl,
1981). Reciprocity (rasa balas budi)
merupakan norma universal bahwa (1) seseorang selayaknya membantu orang lain
yang pernah membantu, (2) seseorang tidak selayaknya mencelakakan orang lain
yang pernah membantu (Scholl, 1981).
Pada konteks komitmen organisasional, dapat dijelaskan
bahwa sudah selayaknya karyawan memberikan kontribusi di masa mendatang pada
organisasi, karena dia telah memperoleh manfaat yang mungkin tidak dapat
diperolehnya, jika dia bergabung dalam organisasi tersebut. Misal karyawan
memperoleh kesempatan berkembang, pelatihan, peningkatan kesejahteraan, status,
dll, sehingga sudah sepantasnya dia memberikan kontribusi pada organisasi di
masa mendatang. Mekanisme demikian berbeda dengan investasi, yaitu bahwa
seseorang memberikan kontribusi lebih dulu, dan memperoleh manfaat atas
kontribusinya dari organisasi pada masa berikutnya.
2.2.2.2. Komitmen
Organisasional sebagai Pendekatan dalam Manajemen Sumber Daya Manusia
Pemahaman
komitmen organisasional memberikan potensi bagi organisasi dalam memilih
pijakan strategis pengelolaan sumber daya manusia, yaitu berbasis komitmen.
Sasaran strategi ini adalah meningkatkan komitmen karyawan, sehingga dapat
dipercaya dalam menjalankan tugas-tugasnya yang konsisten dengan tujuan organisasi.
Sasaran ini dapat tercapai dengan baik, jika ada internalisasi tujuan
organisasi pada tujuan individu (Scholl, 2002). Pembentukan kesadaran bahwa
tujuan organisasi terkait dengan tujuan individu, merupakan kunci strategi ini.
Konsep strategi berbasis komitmen ini relevan dengan asumsi teori Y dan model
kepemimpinan transformasional.
Keuntungan
strategi manajemen sumber daya manusia berbasis komitmen, adalah berpotensi
meningkatkan extra role behavior (ERB)
karyawan, yaitu perilaku inovatif dan spontan yang positif, tetapi di luar
perilaku normal yang hanya berbasis perspektif transaksional semata. Contoh ERB
meliputi:
1.
Kesadaran
karyawan untuk menjaga kerja sama (kekompakkan) antar anggota atau unit
organisasi.
2. Melindungi
kepentingan organisasi.
3.
Memberikan
saran kreatif untuk perbaikan organisasi.
4.
Menambah
tanggung jawab pribadi, selain tanggung jawab formal.
5. Menambah
pengetahuan atas inisiatif karyawan sendiri.
6.
Memberikan citra positif pada
lingkungan luar, dll.
Penelitian empiris juga membuktikan bahwa praktek
manajemen suportif dapat meningkatkan komitmen organisasional. Penelitian
LaMastro (2003), membuktikan bahwa manajemen suportif memperkuat komitmen guru
pada sekolah. Penelitian lain membuktikan bahwa kepuasan kerja berpengaruh
positif terhadap komitmen (Testa, 2002). Ini
menunjukkan bahwa komitmen organisasional dapat dikontrol oleh manajemen,
selain dipengaruhi oleh perbedaan karakteristik personal karyawan.
2.2.3. Kinerja Karyawan
Kinerja
atau job performance didefinisikan
sebagai "kesuksesan seseorang dalam melaksanakan pekerjaan,” atau "successfull role achievement" yang
diperoleh seseorang dari perbuatan-perbuatannya“ (As’ad, (1996:46). Definisi
ini menekankan kinerja sama dengan hasil kerja. Robbins (1996:650) mengajukan 3 kriteria kinerja seseorang, yaitu:
1.
Pertama adalah penyelesaian
tugas, yaitu menilai hasil tugas karyawan dapat dilakukan pada suatu organisasi
yang sudah menetapkan standar kinerja sesuai dengan jenis pekerjaan, yang
dinilai berdasarkan periode waktu tertentu, seperti laporan harian, memenuhi
tuntutan waktu, hasil kerja. Bila karyawan dapat mencapai standar yang
ditentukan berarti hasil tugasnya baik.
2.
Kedua adalah perilaku, yaitu terkait dengan penilaian terhadap perilaku
karyawan dalam melaksanakan pekerjaan. Kriteria lebih sulit, karena
perilaku individu dalam organisasi
berinteraksi dengan individu lainnya. Beberapa indikator yang digunakan
misalnya, kehadiran/absensi, ketaatan peraturan, kecekatan, kerja sama, yang
diharapkan organisasi bahwa perilaku-perilaku tersebut mengarah pada pencapaian
hasil kerja yang diharapkan.
3.
Ketiga adalah ciri, yaitu terkait karakteristik personal, kebiasaan
seseorang, sikap di tempat kerja. Misal sopan santun, ramah, penampilan yang
rapi, dll.
Berdasarkan Gambar 2.2
diketahui kinerja merupakan konsekuensi kekuatan motivasi (effort), lebih spesifik sebagai konsekuensi perilaku (Kanfer,
1999). Sementara dari pengukuran kinerja, dapat dilihat dari kriteria beragam.
Pada penelitian ini kinerja dilihat dari kriteria hasil kerja, kriteria pertama
dari Robbin atau mengacu dengan definisi As’ad (1996).
Pembatasan ini ditetapkan, dengan alasan (1) motivasi
mengarahkan perilaku untuk mencapai tujuan, yaitu penyelesaian tugas-tugas
sesuai harapan organisasi, yang dapat dilihat dari hasil akhir penyelesaian
tugas, (2) kriteria kedua dan ketiga dari Robbin berpotensi menyebabkan
kerancuan definisi, yaitu antara konstruk kekuatan motivasi (effort) dengan konstruk kinerja.
2.2.4. Kepuasan Kerja
Para ahli psikologi dan
perilaku organisasi, memberikan definisi kepuasan kerja yang beragam. Davis dan Newstrom
(2001:105) mendifinisikan kepuasan kerja sebagai perasaan senang atau tidak
senang (favorable or unfavorable)
seseorang berkenaan dengan pekerjaannya.
Robbins (2001:147) mendefiniskan kepuasan
kerja adalah sikap seseorang secara umum terhadap pekerjaannya.
Kepuasan kerja
dapat juga diartikan sebagai seluruh pengaruh positif atau perasaan yang
dimiliki seseorang terhadap pekerjaannya (Arnold dan Feldman, 1986:192).
Hoppeck melihatnya sebagai penilaian dari pekerja yaitu seberapa jauh pekerjaan
secara keseluruhan memuaskan kebutuhannya (As’ad, 1996:104). Rumusan lain
dikemukan Wexley dan Yukl (1984:45), “Job satisfaction
is the way an employee
fells about his or
her job. It is generalized attitude
toward the job
based-on evaluation of different aspects of the job.“
Dari
pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah
merupakan variabel sikap (attitude),
yang berkaitan dengan perasaan karyawan terhadap pekerjaannya. Oleh karena
menggambarkan perasaan, maka mengacu komponen sikap, kepuasan kerja merupakan
komponen afeksi. Sikap atau afeksi tersebut terbentuk sebagai hasil evaluasi
terhadap pengalaman aspek-aspek pekerjaannnya. Lebih lanjut, karena kepuasan
kerja merupakan afeksi, maka keberadaanya dapat mempengaruhi perilaku lebih
lanjut, baik intensitas atau arahnya (pilihan-pilihan). Pada studi ini, kepuasan kerja diproposisikan
berpengaruh terhadap komitmen organisasional.
2.2.4.1. Dimensi-dimensi Kepuasan
Kerja
Para ilmuwan perilaku organisasi
memberikan penjelasan yang beragam terhadap dimensi-dimensi atau faktor-faktor
apa saja yang menentukan kepuasan kerja. Seperti pendapat Davis dan Newstrom
(2001:104), yang menyatakan bahwa kepuasan menyangkut banyak dimensi, namun
pada umumnya menyangkut dua aspek, yaitu kepuasan terhadap pekerjaan itu
sendiri dan kepuasan terhadap lingkungan tugasnya (rekan kerja, kondisi kerja,
penyelia dan organisasi). Pemilahan dimensi kepuasan kerja menjadi dua aspek tersebut,
mengacu kepada dua kategori imbalan sebagai sumber mitivasi seseorang dalam
bekerja, yaitu imbalan intrinsik dan imbalan ekstrinsik.
Pemahaman komprehensif
terhadap dua kategori imbalan tersebut, mengacu pada pemahaman sumber-sumber
motivasi (Leonard, et al, 1999). Imbalan intrinsik terkait dengan pemenuhan
kebutuhan yang bersumber dari dalam seseorang terhadap obyek pekerjaan itu
sendiri, tanpa adanya kontrol dari sumber eksternal. Herzbeg (Kast dan
Rozenweigh, 1990:407) menyebutnya sebagai faktor satisfiers (pemuas). Indikator-indikator imbalan intrinsik
meliputi: prestasi, pengakuan, ekspresi bakat, tantangan pekerjaan, tanggung
jawab, dan kesempatan mengembangkan diri. Adapun imbalan ekstrinsik diperoleh
karena adanya proses transaksional dengan pihak luar, sehingga ada faktor
eksternal yang mengintervensi. Imbalan eksternal ini terkait dengan sumber
motivasi instrumentalitas. Organisasi secara nyata memberikan imbalan kepada
karyawannya, baik dalam bentuk materi (gaji, bonus, fasilitas transportasi,
dll) ataupun non materi (status, kenyamanan kerja, dll). Evaluasi menyeluruh
terhadap kedua jenis imbalan tersebut akan menghasilkan kepuasan kerja.
Robbins (2001:149),
menyatakan elemen-elemen kepuasan kerja yang lazim digunakan meliputi “tipe kerja,
rekan sekerja, tunjangan, diperlakukan dengan hormat dan adil, keamanan kerja,
peluang menyumbangkan gagasan, upah, pengakuan akan kinerja, dan kesempatan
untuk maju”. Faktor-faktor tersebut diikhtisarkan dalam empat faktor, yaitu
kerja yang secara mental menantang, imbalan yang pantas, kondisi kerja yang
mendukung, dan rekan sekerja yang mendukung.
Pendapat lain dikemukakan
Kanfer (1999), yang menyebutkan ada lima dimensi kerja terpenting yang mewakili
karakteristik kerja ada lima yaitu: 1) kerja itu sendiri, 2) pembayaran, 3)
kesempatan promosi, 4) penyeliaan, dan 5) rekan kerja. Kelima dimensi tersebut
menunjukan total job satisfaction.
Pendapat Kanfer ini konsiten dengan Robbins (2001:149), hanya Kanfer memisahkan
imbalan yang pantas menjadi dua dimensi yaitu pembayaran dan promosi.
Berdasarkan penjelasan dari beragam ahli perilaku organisasi, sesungguhnya
merujuk pada satu kesepakatan bahwa secara umum dimensi kepuasan mengadung dua
aspek, yaitu tipe kerja sebagai representasi imbalan intrinsik dan
dimensi-dimensi lainnya sebagai representasi imbalan ekstrinsik.
2.2.4.2. Pengukuran Kepuasan Kerja
Pekerjaan menuntut interaksi dengan
rekan sekerja dan atasan, mengikuti aturan dan kebijakan organisasi, memenuhi
standar kinerja, hidup pada kondisi kerja yang sering kurang dari ideal, dan
yang serupa. Ini berarti penilaian (assesment)
seorang karyawan terhadap betapa puas atau tak puas akan pekerjaannya merupakan
penjumlahan yang rumit dari sejumlah unsur pekerjaan yang diskrit (terbedakan
dan terpisahkan satu sama lain).
Ada dua pendekatan yang sering dipakai untuk
mengukur tingkat kepuasan kerja seseorang. “Pendekatan yang pertama adalah
suatu nilai global tunggal (single global
rating) dan pendekatan yang kedua adalah skor penjumlahan (summation score) yang tersusun atas
sejumlah aspek kerja“ (Robbins, 2001:149).
Pendekatan nilai global tunggal (single global rating) tidak lebih dari
meminta individu-individu untuk menjawab satu pertanyaan, yaitu menanyakan
sebuah pertanyaan kepada individu yang ingin diukur kepuasannya. Pertanyaan
tersebut contohnya, “jika semua hal dipertimbangkan, seberapa puas anda
terhadap pekerjaan anda sekarang“. Responden akan menjawab dengan cara memilih
dari lima
pilihan yang tersedia, yaitu: sangat puas, memuaskan, kurang memuaskan, tidak
puas, dan sangat tidak puas (Robbins, 2001:149).
Sedangkan
pendekatan dengan skor penjumlahan (summation
score), mengenali elemen-elemen utama dalam suatu pekerjaan dan menanyakan
perasaan karyawan mengenai masing-masing elemen. Elemen-elemen kepuasan kerja
tersebut, dinilai masing-masing dengan suatu skala yang standar, kemudian
dijumlahkan untuk mendapatkan nilai keseluruhan bagi kepuasan kerja. Menurut
Robbins (2001:149), berdasarkan kedua pendekatan tersebut, pengukuran kepuasan kerja
dengan menggunakan pendekatan skor penjumlahan, secara intuitif nampak bahwa
menjumlahkan respon-respon terhadap sejumlah faktor pekerjaan akan mencapai
evaluasi yang lebih akurat dari kepuasan kerja. Pengukuran
kepuasan kerja menurut Davis
dan Newstrom (1989:104), menyangkut banyak dimensi, namun pada umumnya
menyangkut dua aspek, yaitu kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri dan
kepuasan terhadap lingkungan tugasnya (rekan kerja, kondisi kerja, penyelia dan
organisasi). Pengukuran kepuasan kerja terhadap dua aspek tersebut akan
memberikan informasi kepuasan kerja secara menyeluruh seorang karyawan terhadap
pekerjaannya. Pada penelitian ini, digunakan pendekatan summation score untuk mengetahui tingkat kepuasan kerja menyeluruh
dari dimensi-dimensi kepuasan kerja, meliputi lima dimensi kepuasan kerja,
yaitu sifat pekerjaan (kerja itu sendiri), pembayaran, promosi, penyelia, dan
rekan kerja (Kanfer, 1999; Robbins, 2001).